Kelangkaan
Beras Pasca Kemerdekaan
Dalam
Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya
Mochtar Lubis
oleh Syafrida
Novel
Jalan Tak Ada Ujung merupakan salah
satu karya Mochtar Lubis yang diterbitkan pertama kali oleh Dunia Pustaka Jaya
pada tahun 1952. Novel ini ditulis dengan latar belakang perjuangan revolusi
Indonesia. Kejadian dalam novel ini terjadi pada pasca kemerdekaan yang
diproklamasikan oleh soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah kemerdekaan
diproklamasikan tetap saja Indonesia mengalami kekacauan karena kedatangan
NICA. Pada saat itu masih sering ada pertempuran antara serdadu Belanda dengan
rakyat. Dengan liciknya belanda pada saat itu menutup akses impor ekspor di
indonesia sehingga pada saat itu diceritakan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung
masyarakat mengalami keadaaan ekonomi yang tidak lancar apalagi kebutuhan
sehari-harinya khususnya kebutuhan pokok sulit untuk terpenuhi dan mengalami
kenaikan harga yang tinggi, seperti halnya beras sebagai bahan makanan pokok
penduduk Indonesia yang susah di dapat, sehingga harganya pun menjadi lebih
mahal dari biasanya. Dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung menggambarkan susahnya kebutuhan pokok yang didapatkan
akibatnya harga kebutuhan pokok naik dan tokoh yang ada di dalam novel tersebut
terkejut mendengar harga beras naik sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya.
“Kasih saya beras dua liter,”
katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu membungkus beras dua
liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan itu.
“Enam rupiah!”
“Ah, naik lagi. Kemaren dulu juga seringgit,” bantah
perempuan itu.
“Beras susah masuk sekarang,” anak
itu membela harganya.
(Mochtar Lubis, 2010: 5)
Kelangkaan barang dalam suatu
wilayah menyebabkan harga yang tak terkendali. Akibatnya penduduk kecil tidak
mampu membeli beras untuk sekedar mengisi perutnya. Mereka mengharapkan
hutangan beras agar dapat makan barang satu hari saja. Seperti dalam novel
Jalan Tak Ada Ujung, seorang perempuan menggendong anak kecil yang berenti di
depan warung Baba Tan yang menginginkan beras saat itu.
“Saya ngutang saja,” sahut perempuan
itu, dan tangannya menjangkau bungkusan beras.
“Tidak boleh bon lagi sekarang,”
kata Baba Tan dari pintu warung. Dia telah lama berdiri di sana mendengarkan.
“Tapi saya langganan lama.”
“Ya, tapi sekarang semua susah, saya
juga banyak yang susah,” kata Baba Tan. “Tidak bisa kasih utang. Tidak bisa.”
Perempuan itu menarik tangannya
kembali dari bungkusan besar dan berdiri diam. Ke mana aku harus pinjam uang,
pikirnya.
(Mochtar Lubis, 2010 : 5)
Hal ini lebih dikuatkan oleh
pernyataan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung seorang saudagar beras yaitu Tuan
Hamidy yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan beras. Bahkan satu
karung beras pun tidak sampai padanya.
“Selamat pagi, Tuan Hamidy,” katanya
membalas tersenyum ramah, dan dia berhenti, “bagaimana beras dari Karawang?”
tanyanya. Ke dalam kepala Guru Isa masuk suatu pikiran.
“Minggu ini tidak sekarung yang bisa
masuk. Semuanya ditahan oleh anak-anak di cikarang”
(Mochtar Lubis, 2010: 66)
Keadaan
ekonomi di indonesia semakin terpuruk pasca kemerdekaan, hal ini dikaitkan
dengan kebutuhan masyarakat yang sulit didapatkan. Pada saat itu di dalam novel Jalan Tak Ada Ujung guru Isa
yang pegawai negeri juga susah mendapatkan kebutuhan pokok karena kurangnya
penghasilan yang dia dapatkan. Penghasilannya tidak sesuai dengan harga beras
dan kebutuhan pokok yang naik pada saat itu.
“Kalau hari ini
engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu lagi kemana harus menghutang beras,”
kata Fatimah padanya, menuangkan kopi untuknya. “Gula pun telah habis. Kepada
Bibi Tatang aku telah menghutang beras lima liter. Belum juga aku ganti sudah seminggu.
Sedang aku berjanji mengembalikannya dalam dua hari. Mambon di warung susah
benar sekarang. Hutang pada tukang sayur telah lama aku tidak bayar.”
(Mochtar Lubis,
2010: 65)
Defisitnya perekonomian
Indonesia saat itu pasca kemerdekaan sangat mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat. Mereka hidup seadanya dengan serba kekurangan khususnya kekurangan
kebutuhan sehari-hari, kebutuhan pokoknya yaitu beras, seperti yang digambarkan
dalam novel Jalan Tak Ada Ujung Karya
Mochtar Lubis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar