Cari Blog Ini

Senin, 02 Maret 2015

Analisis Kajian Objektif dan Kajian "Keterbelakangan Tradisi" dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dunia kesastraan mengenal novel sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Banyak novel yang dituliskan pengarang sebagai salah satu wujud untuk menuangkan inspirasinya berupa dari sejarah, pengalaman pribadi, maupun pengalaman orang lain ke dalam karya-karya yang ditulisnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel ketiga yang ditulis oleh Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun 1982. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk selain kisahnya berisikan dunia ronggeng di dukuh paruk, novel ini juga dapat dijadikan sebuah dokumentasi sosial pada masa pergolakan politik di Indonesia, bahkan hingga kini masih banyak rakyat yang sengsara. Karya sastra yang mengisahkan perubahan sosial-politik pada kurun waktu sekitar 1965 tentang terjadinya geger politik yang melibatkan banyak korban, baik korban politik maupun korban kemanusiaan sehingga banyak karya sastra yang mengusung tema mengenai masyarakat kecil yang tertindas oleh kesewenang-wenangan para penguasa. Ahmad Tohari mencoba mendeskripsikannya lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil sebagai tokoh utama pada novel merupakan perempuan yang berperawakan cantik dan menarik, digambarkan sebagai perempuan yang sempurna fisiknya. Penulis tertarik untuk mengkaji tentang keterbelakangan tradisi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karena kurang menyetujui tentang nilai norma kehidupan Islam yang dituangkan Ahmad Tohari.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang dapat dianalisis sebagai berikut:
1.      Bagaimana analisis objektif  novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2.      Bagaimana keterbelakangan tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk?


C.    Tujuan
Analisis melalui pendekatan objektif dalam karya novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari bertujuan untuk:
1.      Untuk mengetahui objektif  novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2.      Untuk mengetahui keterbelakangan tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk.

D.    Tinjauan Pustaka
Ronggeng Dukuh Paruk pernah dikaji dalam skripsi Farihah Wachdin pada tahun 2012, NPM 0843010154, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN”. Judul yang dikaji adalah Representasi Diskriminasi Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Studi Semiologi tentang Representasi Diskriminasi Perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana representasi diskriminasi perempuan melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis semiologi Roland Barthes. Subjek penelitian adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk dan objek penelitian adalah teks yang mempresentasikan “diskriminasi perempuan”. Korpusnya adalah semua teks yang mempresentasikan diskriminasi perempuan. Landasan teori yang digunakan adalah novel, diskriminasi, representasi, semiologi Roland Barthes memaknai leksia-leksia yang dapat mempresentasikan diskriminasi perempuan pada teks novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Dalam penyajian data dan hasil analisis data, peneliti memilah-milah 5 kode pembacaan dalam leksia yang telah ditentukan yaitu : kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomik. Setelah melalui kode pembacaan Barthes tersebut ditemukan makna representasi diskriminasi dalam bentuk pembatasan, pelecehan, pengucilan terhadap manusia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat 22 leksia yang mempresentasikan diskriminasi perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Kata kunci:Representasi,Semiologi,Diskriminasi,Novel,Ronggeng Dukuh Paruk.[1]
Penelitian mengenai eksistensi Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Ali Imron dari Pendidikan Linguistik Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret pada tahun 2006, yang berjudul “Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh paruk”.
Kesimpulan skripsi ini yaitu: (1). Mencermati kekuatan dan keunikan dan kekhasan karya-karyanya maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka negeri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Paruk yang memiliki kontribusi penting dalam jagat sastra Indonesia. (2). Figur tokoh Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai cerminan dari Ahmad Tohari, (3). Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid’ah budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis[2]


BAB II
Keterbelakangan Tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari

A.    Biografi Pengarang
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948. Ia menempuh pendidikan formalnya hanya mencapai SMAN di SMAN II Purwokerto. Akan tetapi, ia pernah menjelajahi pengalaman pendidikan di beberapa fakultas, seperti fakultas ekonomi, sosial politik, dan kedokteran di salah satu universitas yang berada di Jakarta dan Purwokerto walaupun semuanya tidak berhasil diselesaikannya. Dalam dunia jurnalistik ia pernah menjadi redaktur pada harian merdeka sejak tahun 1979 hingga 1981, dilanjutkan dengan menjadi staf redaksi hingga 1986, dan setelah itu menjadi dewan redaksi pada majalah amanah hingga 1993. Selain itu, ia pun menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis yang aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Di desa Tinggarjaya, Ahmad Tohari merawat sebuah pesantren bersama istrinya, Syamsiah yang bekerja menjadi guru sekolah dasar. Mereka menghidupi ketiga anaknya dengan pendidikan yang tinggi. Hampir semua karya Ahmad Tohari terilhami oleh kisah nyata yang menggambarkan lingkungan di sekitarnya, kemudian ia tuangkan dalam bentuk karya sastra yang dilengkapi dengan manipulasi dan imajinasi tertentu yang turut memberikan makna serta memperindah karya yang diciptakannya karena Ahmad Tohari yakin bahwa karya sastra merupakan bentuk lain dari berdakwah yang tujuannya untuk mencerahkan batin manusia dan sebagai sarana mengingatkan masyarakat agar semakin beradab.
Pada paruh kedua dekade 1970-an ketika cerpennya, Jasa-jasa Buat Sanwirya memenangkan hadiah dalam sayembara kincir emas radio nederland wereldomroep (1975), lalu menerima berbagai penghargaan dan melahirkan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang terdiri atas Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala, nama Ahmad Tohari semakin tekenal. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sering pula disebut-sebut oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai karya agungnya karena karya itulah yang melambungkan nama Ahmad Tohari ke puncak popularitas sebagai sastrawan Indonesia sehingga nama Ahmad Tohari dalam jagat sastra Indonesia tidak dapat terlepas dari trilogi Rongeng Dukuh Paruk.[3]
Kalem dan bersahaja seperti kalimat-kalimat pendek dalam karya-karyanya adalah cermin dari Ahmad Toharin. Ia orang yang tidak munafik. Kendati dididik dalam lingkungan islam yang ketat, ayahnya seorang kiai. Ayah lima anak itu kenal betul kehidupan ronggeng yang bisa dikatakan menganut paham seks bebas.[4]

B.     Latar Belakang Lahirnya Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari. Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Alam pedesaan dengan masyarakat dan sejumlah masalahnya menjadi ciri khas cerita pada novel ini. Novel yang berkisar tahun 1965 dengan cerita yang serupa dengan . Suatu beban bathin yang berat, yang harus ditanggung oleh tokoh. Luka-luka peristiwa Oktober 1965 yang masih terasa perih. Ketika tahun 1965, usia Ahmad Tohari 16 tahun. Ia pernah melihat orang membunuh orang dengan sadar, ia termasuk idealistis dan peka.
Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menuliskan masyarakat jahiliyah nyaris secara ekstrem dengan kemaksiatannya, kecabulannya dan sumpah serapahnya. Ahmad Tohari menginginkan gambar kejahilan yang lengkap, bahkan aspek kemusyrikannya pun sengaja angkat lebih tinggi.

C.    Sinopsis
Cerita ini berawal dari suatu desa terpencil, Dukuh Paruk yang kering kerontang telah menampakan kehidupannya kembali ketika Srintilmenjadi ronggeng. Penduduk Dukuh Paruk yang merupakan keturunan Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka menganggap bahwa kehadiran Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan.
Srintil adalah potret anak dukuh paruk yang yatim-piatu akibat bencana tempe bongkrek. Enam belas penduduk meninggal karena memakan tempe yang terbuat dari ampas kelapa tersebut. Tak terkecuali juga kedua pembuat tempe itu, yaitu kedua orang tua Srintil. Setelah malapetaka itu terjadi, Srintil yang masih bayi kemudian dipelihara oleh kakek neneknya, Sakarya suami istri, sampai pada akhirnya mereka menyadari ternyata Srintil memiliki indang ronggeng sehinnga kakek Srintil menyerahkannya kepada dukun ronggeng yang bernama Kartareja. Sekejap Srintil telah menjadi primadona yang menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan jati dirinya.
Rasus yang sangat benci dan kecewa menerima kenyataan bahwa Srintil benar-benar menjelma menjadi seorang ronggeng. Sebab, Srintil adalah perempuan yang sangat dicintainya.Setelah Srintil benar-benar menjadi seorang ronggeng, Rasus kehilangan sosok emaknya dan berpikir bahwa Srintil bukan lagi miliknya sendiri, melainkan milik semua orang. Ia pun kemudian meninggalkan dukuh paruk dan bertempat tinggal di desa Dawuan. Rasus bertemu dengan kelompok tentara sehingga membuat Rasus tergabung menjadi serdadu.
Menjelang tahun 1965 mengubah sendi-sendi kehidupan Dukuh Paruk. Pedukuhan yang selama ini hanya mengenal suara calung dan tembang ronggeng itu mulai disusupi paham-paham dan lambang-lambang partai.Peristiwa G30S PKI meletus dan keadaan berbalik, PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek komunis karena seringnya mereka meramaikan kampanye politik partai itu. Dukuh Paruk kemudian hancur bersama kobaran api, pedukuhan itu menjadi tumbal kemarahanterhadap PKI.
Setelah dibebaskan dari penjara, Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Srintil berniat memperbaiki citra dirinya, meninggalkan dunia ronggeng, dan menata hidup sebagai perempuan yang tidak mau dimiliki oleh semua orang, ia ingin menjadi istri dari seorang lelaki dengan mengharapkan kehadiran Rasus. Letih menunggu Rasus, ternyata Bajus muncul dalam hidupnyadan sepercik harapan pun timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Srintil berharap Bajus menikahinya. Akan tetapi, harapan itu hancur ketika Bajus yang terkesan akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng yang boleh dimiliki oleh semua lelaki. Hancur leburlah hati Srintil tak kuat menahan penderitaan batinnya sampai kemudian Srintil menjadi gila yang pada akhirnya menyisakan luka di hati Rasus.

D.    Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
1.      Kajian Objektif (Unsur Instrinsik)
a.      Tema
Tema menurut staton dan kenny dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.[5]
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tema yang mendasari cerita adalah Tradisi Kehidupan Masyarakat Dukuh Paruk yang Mengalami Keterbelakangan.
Hal itu terlihat pada kutipan:
“Murka tidak kepalang yang mengusik Dukuh Paruk membuat ronggengnya tidak kehabisan semangat. Pada akhir bulan September 1965 itu Srintil sudah dua minggu manggung terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakkan budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget dan menciumi Srintil sepuas hati. Cuma-cuma. “ (RDP.237)

b.      Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama, ada jenis tokoh lain yang terpenting adalah tokoh lawan, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Tokoh yang fungsinya hanya melengkapi disebut tokoh bawahan.[6]
  

Motif
Seorang gadis yang mempunyai bakat menari dan disuruh menjadi ronggeng oleh kakeknya.
Tujuan
Ingin terlepas dari tekanan batin menjadi seorang ronggeng.

Tokoh Utama
Srintil





Ronggeng

Penghalang
Rasus
Bakar


Pendukung
Kartareja dan istri
Sakarya
Sakum
Bajus

·           Karakter Srintil
Digambarkan sebagai perempuan dengan keluguannya yang pada akhirnya harus menjadi korban otoriter atau geger komunis.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa Saudara Kartareja dan Saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan.Ini perintah atasan.Dan kami hanya melaksanakan tugas.”(RDP.241)

·           Karakter Rasus
Digambarkan sebagai tokoh yang berani, teguh pendiriannya.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tetapi yang aku temukan sebatang gagang pacul.Ketika perampok itu membelakangiku, aku maju dengan hati-hati.Pembunuhan kulakukan untuk pertama kali.”(RDP.101)

Digambarkan sebagai tokoh yang cinta kampung halamannya.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya” (RDP.107)

·           Karakter Kartareja dan istrinya
Memiliki karakter yang serakah yang tergiur dengan harta. Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tetapi ringgit emas bisa masuk saku celana. Bagus, tidak kotor, dan aku tak kan disusahkannya dengan urusan kandang, rumput, serta bau busuk.” Ujar kartareja sambil membuang muka (RDP.70)

·           Karakter Sakarya
Seorang kakek yang menghormati tradisi leluhur atau nenek moyang.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada kartareja. Itu hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng” (RDP.17)

·           Karakter Sakum
Kakek buta yang pengertian dan peka.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Lho, sampean menangis?”
“Aku tidak menangis, Kang.Tidak.”
“Jangan bohong.Aku mendengar napas orang menangis. Percuma, Jenganten. Jangan menangis.” (RDP. 335)

·           Karakter Bajus
Seorang pemuda yang berasal dari Jakarta yang pura-pura baik, mempunyai penyakit impoten.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Memang laki-laki itu bukan dia yang paling banyak membuat catatan yang berkesan di hati.Dia bukan Rasus, melainkan Bajus.”(RDP. H. 369)
“Bajus yang kini impoten.kini tak ada pesona.”(RDP.386)

·         Bakar
Seorang yang berpura-pura baik atau munafik. Hal ini terdapat pada kutipan:
“Kemudian Bakar memang berhenti pada titik yang bersahaja.Di luar Dukuh Paruk, Bakar berpropaganda macam-macam yang pasti sulit dimengerti oleh orang Dukuh Paruk.Misalnya tentang perjuangan kaum tertindas untuk mendapatkan kembali hak-haknya.” (RDP.230) 

c.       Sudut Pandang
Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita akuan yang berada dalam cerita atau pencerita diaan yang berada di luar cerita.[7]
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah sudut pandang tokoh “aku” dalam sebuah cerita dapat mengacu dua pengertian. Ahmad Tohari menggunakan sudut pandang yaitu Pertama, sebagai pelaku yang secara langsung terlibat dalam cerita (“aku” pelaku/ Rasus); kedua sebagai pencerita yang berada di luar (“aku” pencerita).
Sudut pandang aku sebagai tokoh cerita (Rasus) terlihat pada kutipan
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula kita bisa kualat nanti,” jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku (RDP. H. 67)

Sedangkan sudut pandang aku sebagai pencerita berada di luar terlihat pada kutipan
“Rasus tersentak ke belakang. Pelupuh yang berderit membuat Sakum tersenyum dan menanti. Namun sama sekali rasus hanya mendesah dan mengeluh. ketika akhirnya Rasus membuka mulut kata-katanya sudah melompat jauh ke lain persoalan” (RDP. H. 356)

d.      Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang terjalin dalam suatu cerita. Alur sederhana terdiri dari perkenalan, awal konflik, konflik, klimaks, dan antiklimaks.[8]
Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah alur maju, karena peristiwa tersebut berjalan teratur dan berurutan sesuai dengan urutan waktu kejadian dari awal sampai akhir cerita.

                        AWAL-EKSPOSISI
Tahap Awal disebut juga tahap pengenalan. Dalam hal ini, tahap awal tergambar ketika memperkenalkan kondisi yang terjadi mengenai pedukuhan dukuh paruk melalui peristiwa tragis tempe bongkrek dan awal kisah tokoh Srintil yang akan menjadi seorang ronggeng dengan berbagai ritual yang dijalani. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Dalam haru-biru kepanikan kata-kata ‘wuru bongkrek’ mulai diteriakkan orang. Keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah mendengar teriakan demikian.”(RDP.25)
“Srintil sudah menjadi ronggeng di dukuhku.Usianya sebelas tahun.” (RDP.36)
“Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu diantaranya adalah upacara permandian yang secara turun temurun dilakukan di depan cungkup makan Ki Semacenggala.”(RDP.43)
“…syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh srintil bernama ‘bukak-klambu’. …bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan ronggeng”(RDP.51)

                        KONFLIK
1.      Rasus melihat sosok emaknya ada pada Srintil, tetapi Srintil ingin menjadi Ronggeng.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Aku percaya; hanya aku yang sejak anak-anak mengkhayalkan demikian dalamnya tentang seorang emak. ..akhirnya aku dapat mendatangkan ilusi; bahwa yang berdiri telanjang di depanku bukan Srintil, bukan pula ronggeng Dukuh Paruk, melainkan perempuan khayali yang melahirkan diriku sendiri.”(RDP.67)

2.      Srintil mengalami tekanan batin, dia ingin mempunyai anak akan tetapi telur rahimnya sudah diangkat oleh Nyai Kartareja.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“…bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya.”(RDP.90)

                        KOMPLIKASI-RUMITAN
1.      Srintil mencintai Rasus tetapi Rasus menolaknya karena Srintil seorang ronggeng.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali pada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberikan sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk: RONGGENG.(RDP.107)

2.      Rasus meninggalkan Srintil pergi.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
Sampai di tengah pesawahan aku menoleh ke belakang.Aku tersenyum sendiri, lalu bergegas meneruskan perjalanan. Dengan tangan memaggul bedil, rasanya aku gagah.” (RDP.107)

                        KLIMAKS
1.        Srintil tidak ingin menjadi ronggeng lagi. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“ketika sedang mandi kata-kata Sakum terus mengiang di telinga srintil; dia bukan lagi ronggeng. Duh, pangeran, alangkah enak didengar. Sekarang baru Sakum seorang yang mengatakan aku bukan ronggeng. Aku akan membuktikan diri sehingga nanti semua orang berkata seperti Sakum. (RDP.336)

2.        Rasus memilih untuk tetap melanjutkan pengabdian menjadi tentara.
       Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Anu, kang. Lusa aku akan berangkat tugas ke Kalimantan. Pokoknya aku tidak bisa apa-apa.”(RDP.356)

TURUNAN
1.      Rasus berpesan kepada Kartareja untuk menjaga Srintil. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Bila ada lelaki baik-baik yang berminat mengambil Srintil, maka bantulah keduanya. Tapi bila ada lelaki yang dating hanya untuk bermain-main, tolong katakan kepada Srintil sekarang dia tidak boleh berperilaku seperti dulu. Aku yang melarangnya, Kek.” (RDP.360)

2.      Srintil bahagia memiliki Goder. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Mula-mula Srintil hanya berbicara kepada Goder, memperkenalkan ini-itu kepadanya.Lalu ketawanya pecah ketika mendengar Goder minta dibelikan kuda penarik andong seperti yang baru dilihatnya.Tertawa lagi setelah Goder bartanya, apakah karung yang dibawa orang tadi tidak berisi kepala manusia.” (RDP.363)

PENYELESAIAN
1.      Srintil menjadi gila. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Srintil berjalan seperti tidak melihat apa pun meski kedua matanya terbuka lebar dan tidak berkedip. Bajus merasa seperti sedang menuntun orang setengah lumpuh dan buta.”(RDP.386)

2.      Rasus menyadari kesalahan dan membawa Srintil ke Rumah sakit jiwa.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Perjalanan dua jam dari Dukuh Paruk terasa amat menekan. Ketenangan yang meliputi hatiku hamper berakhir ketika becak berenti di gerbang rumah sakit tentara.” (RDP.402)
“Maaf, pasien itu calon istri sampean barangkali?’
“Ya!”
Bening.Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega. Lega.Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku telah ku robohkanhanya dengan sebuah kata yang begitu singkat.(RDP.402-403)

e.       Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi tokoh-tokoh yang ada pada cerita.[9]
TEMPAT
1.      Dukuh Paruk, Banyumas (Jawa Tengah). Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Siapapun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng.” (RDP.11)

2.      Pasar Dawuran. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Pasar Dawuan sedikit demi sedikit meregangkan hubunganku dengan Srintil.” (RDP.84)

3.      Pemakaman Secamanggela. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di pegunungan bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka.” (RDP.10)

WAKTU
1.      1946 peristiwa tempe bongkrek. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946.” (RDP.21)
“Kang, apa tidak kau dengar orang-orang mengatakan mereka keracunan tempe bongkrek? Bongkrek yang kita buat? Ini bagaimana, kang?”(RDP.25)

2.      1964 di tengah rapat umum
“tetapi pada tahun 1964 itu, ketika panceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas” (RDP.228)

3.      1964 kejayaan Srintil
“Bilapun ada tak seorangpun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964. Dukuh Paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng cantik berusia Sembilan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya.”(RDP.226)

4.      1965 pergolakan politik.
“pada tahun 1965 itu siapapun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.” (RDP.236)
“Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada dasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena.” (RDP.237)

5.      1969 dukuh paruk miskin
“Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan bodoh.” (RDP.238)
“Memasuki tahun 1970, kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan beruabh gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning dan buldoser dari berbagai jenis dan ukuran.” (RDP.361)

SUASANA
1.      Mencekam pada tahun 1965, Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu dan meski mereka tak bisa membaca, tetapi mereka telah mengerti sesuatu.”(RDP.235)

2.      Bahagia
“Banyak perempuan dan anak-anak memenuhi rumah Kartareja. Mereka ingin melihat Srintil dirias. Sepanjang usianya yang sebelas tahun, baru pertama kali Serintil menjadi perhatian orang. Dia tersipu.  Terkadang tertawa kecil bila dia mendengar orang berbisik memuji kecantikannya. (RDP.18)

3.      Sedih
“Sakarya menjatuhkan pundak dan mendesah. Sambil menggendong kedua tangan orang tertua di Dukuh Paruk berjalan berkeliling menatap reruntuhan cungkup makam.” (RDP.236)

4.      Marah
“Belum pernah sekalipun Dukuh Paruk merasa terhina demikian dalam. Dia muram dan diam menahan murka. Semua warganya memusatkan kebersamaan rasa, siap membayar kembali dengan tunai penghinaan yang mereka terima. Dan balas dendam itu hanya tertunda karena orang-orang Dukuh Paruk berlum menemukan nama-nama para penghina itu.” (RDP.236) 

f.       Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dimaksud adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang merupakan suatu sarana sastra yang amat penting.[10]
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari gaya bahasa yang digunakan bahasa sastra dengan pendeskripsian suasana yang mengkiaskan alam sekitar dengan bahasa yang indah.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Sepasang burung bangau melayang meniti angina, berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya.” (RDP.9)

Selain itu terdapat majas personifikasi yaitu pada kutipan:
“Pucuk-pucuk pohon di Pedukuhan sempit itu bergoyang.Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumput bamboo berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk.Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. (RDP.9)

Terdapat pula majas metafora dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu pada kutipan:
“Kecantikan yang tak ada refrensinya pada wajah patung Venus atau Dewi Aphrodite, melainkan pada wajah Pradnya Paramita.” (RDP.373)

Dalam novel ini juga menggunakan kosa kata Jawa (beberapa Dialeg Banyumas) dalam penyebutan lagu daerah, mantra-mantra, jenis binatang, tumbuh-tubuhan, dan paggilan kehormatan.
Lagu daerah Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat lagu kebanggaan para ronggeng yang sering dinyanyikan Srintil yang menggunkan bahasa Jawa. Hal ini terdapat dalam kutipan:
Sengkang ceplik, cunduk jungkat sarwi wungu
Pupur lelamatan
Nganggo rimong plangi kuning
Gandanira kaya sekar dhedhemplonan.(RDP.H. 196)
Mantra-mantra yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk:
Uluk-uluk perkutut perkutut manggung
Teka saka ngendi,
Teka saka tanah sabrang
Pakanmu apa,
Pakanku madu tawon
Manis madu tawon,
Ora manis kaya petuku, Srintl. (RDP.18)
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat bahasa panggilan kehormatan, yaitu Jenganten, wong ayu, wong kewes,cah bagus, kang, mbakyu
“sampaen harus beristirahat, jenganten.”(RDP.192)
Dalam novel ini juga terdapat kata-kata umpatanyang khas jawa yang digunakan oleh pengarang yaitu: bajul bunting, asu bunting, munyuk, cecunguk. Seperti dalam kutipan.
“Santayib engkau Anjing!Asu bunting lihat, bokor ini biru karena beracun.”(RDP.26)

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ditemukan juga bahasa Jawa yang digunakan pengarang terdapat kaitannya dengan dunia ronggeng, seperti indang, susuk, bukak klambu, calung, tayub. Hal ini terdapat dalam dalam kutipan:
“Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bias menjadi ronggeng kecuali roh Indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.” (RDP.13)
“Tetapi sebagian besar segera memadamkan keinginannya setelah mengerti apa syarat untuk tidur bersama srintil pada malam bukak-klambu.”(RDP.52)

g.      Amanat
       Jadilah manusia yang dinamis, mengikuti perkembangan zaman, agar tidak menjadi masyarakat yang mengalami keterbelakangan.


3.      Keterbelakangan Tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan.[11] Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, terdapat gambaran tentang dunia Dukuh Paruk yang miskin, kumuh, dan bodoh. Kemiskinan, kekumuhan, dam kebodohan Dukuh Paruk merupakan simbol ketidaktahuan dan keterbelakangan. Dunia itu adalah sebuah dusun di Banyumas, Jawa Tengah, dusun para ronggeng yang tidak beradab, yang menyerahkan dirinya hanya kepada dorongan-dorongan alamiah. Orang-orang yang hidup di dalamnya pun adalah orang-orang yang tidak mampu melepaskan diri dari alam, dari tradisi yang sudah lama membungkam mereka. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
“Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kebatinan kehidupan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.” (RDP.10)

“Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.” (RDP.11)

Pada kutipan tersebut bisa dilihat bahwa dunia Dukuh Paruk amat jauh menghadirkan perilaku manusia yang tidak pernah terbayangkan oleh orang kota yang sudah beradab.
Ronggeng bagi Dukuh Paruk seakan menjadi sesuatu yang amat berharga dan patut dimuliakan. Seorang istri bahkan tidak akan merasa dipermalukan bahkan merasa sangat bangga ketika suaminya mampu menjadi orang yang paling lama menari bersama sang ronggeng. Dua orang pemuda bahkan rela bertengkar demi dapat tidur bersama seorang ronggeng yang masih kanak-kanak. Esensi tentang kebenaran yang banyak disepakati seakan tidak berlaku bagi warga Dukuh Paruk.
Ronggeng adalah suatu penghargaan terhadap leluhur, bukan pelanggaran terhadap norma. Tidak ada yang patut disalahkan dan dibenarkan karena adat yang mengakar telah menanamkan pemahaman yang jauh berbeda dengan kehidupan di luar Dukuh Paruk. Pernikahan bukan lagi sebagai sesuatu yang dianggap sakral karena setelah menikah pun seorang laki-laki masih dapat meniduri wanita bahkan istri orang lain. Dukuh Paruk tidak pernah mempermasalahkan jika ada sepasang manusia yang tidur bersama dan mereka bukan suami istri. Perkara yang mudah saja jika seorang suami menemukan istrinya tidur dengan suami orang lain, maka suami akan membalas meniduri istri orang yang meniduri istrinya. Tidak akan ada pertengkaran tentang kesusilaan di Dukuh Paruk karena mereka memiliki caranya sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Berikut kutipannya.
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan. (RDP.38)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua penduduk Dukuh Paruk merestui tindakan tidak beradab tersebut.
Ada seorang gadis bernama Srintil yang demi tradisi dengan senang hati menyerahkan diri untuk menjadi ronggeng. Srintil bangga menjadi seorang ronggeng karena banyak pujian dan pemanjaan akan didapatkannya. Tapi ketika akan dilaksanakan malam buka kelambu pun, ia sadar bahwa ia sedang diperjualbelikan. Bahkan ketika dewasa, ia banyak bercerita tentang harapannya menjadi seorang istri dan memiliki anak. Berikut kutipannya.
“Ah, Yu. Aku tak ingin makan apa pun. Yang kuharapkan dari sampean bukan makanan melainkan anakmu. Nah, turunkan Goder, biar bermain bersamaku. Tanganku sudah gatal ingin menimangnya. Mari.” (RDP.137)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa seorang ronggeng sekalipun memiliki naluri sebagai perempuan normal, perempuan yang memiliki harapan untuk dapat menjadi seorang ibu.
Di dalam cerita juga dihadirkan seorang tokoh penting, yaitu Rasus. Berbeda dengan Srintil dan penduduk dusunnya, Rasus adalah tokoh yang berjarak dari masyarakatnya dan sudah terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan kota yang rasional dan empiris. Dia tidak setuju dengan kebudayaan masyarakatnya, tidak setuju dengan “keronggengan” Srintil. Karena itu, ia kemudian meninggalkan dusunnya dan menjadi tentara.
“...Semua tercengang hampir tak percaya bahwa Rasus sama seperti mereka, anak Dukuh Paruk yang sebenar-benarnya.” (RDP.345)
“Jadi Pak Tentara itu saudara kita juga. Dulu, inilah rumahnya,” kata anak Sakum. Wajah semua anak berseri-seri. (RDP.345)

Kedatangannya kembali ke dusunnya setelah beberapa tahun mengembara dan bekerja di kota. Di luar dusunnya yang aneh itu, membawa peran baru. Yaitu merekayasa masyarakat dusunnya dan berusaha menjadikannya sebagai masyarakat dan kebudayaan yang beradab.
Keluguan warga Dukuh Paruk adalah kejujuran tanpa pamrih, kehidupan yang harus dijalankan apa adanya. Pada saat wajah Dukuh Paruk mulai tampak sumringah, datang antek-antek PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mencoba memanfaatkan popularitas Srintil dan keluguan warga Dukuh Paruk. Terjadi geger komunis dan pergolakan politik serta kecemasan warga Dukuh Paruk. Srintil dan warga Dukuh menerima malapetaka akibat ketidaktahuan dan kebodohannya. Tragedi ini merupakan awal penjungkirbalikkan nilai-nilai dunia peronggengan yang pernah diagungkan oleh Srintil dan warga Dukuh Paruk. Dalam hal ini tampak jelas proses perkembangan watak Srintil. Orientasinya peronggengannya punah bersama kehancuran jiwanya. Kehadiran tokoh Bajus yang mengangkatnya dari keterasingan, mampu memulihkan harapan-harapan baru bagi Srintil. Terlebih lagi, bahwa kedatangan Rasus ke dukuhnya, sama sekali bukan untuk menyembuhkan luka pedukuhan itu, Rasus kembali menjadi anak “mursal” pedukuhannya sendiri. Peran itu dilambangkan dengan usahanya diakhir cerita untuk menyembuhkan Srintil dari penyakit gila, kehilangan akal. Berikut kutipannya.
Kegilaan Srintil yang disebabkan oleh “kebodohannya”. Pertama, karena tidak mengetahui seluk-beluk kehidupan politik kota di luar dusun, ia dan orang di sekitarnya ditipu oleh PKI. Kedua, karena tidak mengetahui liku-liku kehidupan kota, ia tertipu oleh janji Bajus yang datang dari kota. Bajus berjanji mengawininya, dan Srintil sangat berharap dengan janji itu. Tetapi ternyata Bajus hanya menjadikan Srintil sebagai pelacur yang disumbangkan ke pada pejabat untuk mendapatkan proyek.
Perubahan nilai peronggengan terjadi dalam diri Srintil. Begitu pula dengan Rasus, telah tumbuh kesadaran untuk kembali ke tanah leluhurnya, Dukuh Paruk. Setelah Srintil mengalami guncangan hebat, Rasus juga mengalami guncangan batin dalam tugasnya di Kalimantan Barat.
“Sesuatu yang bagiku terasa lebih besar adalah rusaknya konsep keprajuritan dalam jiwaku; lambat laun aku tidak merasa menjadi Gatotkaca lagi.” (RDP.389)

Dari kutipan di atas, menunjukkan kesadaran yang membawa Rasus pada satu sikap:
“Akulah yang secara moral paling layak mengambil tanggung jawab bagi kemanusiaan Dukuh Paruk.” (RDP.392)

Maka manakala ia tahu keadaan Srintil, Rasus, prajurit Dukuh Paruk bertindak sebagai pahlawan Dukuh Paruk.
Dengan demikian, kata Rasus, menyembuhkan Srintil dan masyarakat dusunnya berarti melenyapkan kebodohan mereka, keanehan mereka dan mengintegrasikan ke dalam masyarakat modern yang beradab.
Keterbelakangan tradisi dalam Ronggeng Dukuh Paruk dapat terlihat jelas dari rangkaian cerita. Animisme yang masih dipercaya, membuat pemikiran tentang ronggeng dibenarkan. Bahkan banyak warga Dukuh Paruk yang berbicara dengan kata-kata yang kasar dan tidak mendidik, serta kelakuan yang jauh dari logika masyarakat modern. Kemiskinan dan kebodohanlah yang menyebabkan warga Dukuh Paruk mengalami ketidaktahuan dan keterbelakangan. Cara beragama antar daerah yang satu dengan yang lainnya memang dapat berbeda, perilaku keberagaman dipengaruhi oleh  kultur setempat. Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan struktur yang ada, tetapi sebaiknya tradisi yang ada disesuaikan dengan logika hidup yang dinamis.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Novel Ronggeng Dukuh Paruk pada analisis ini mempunyai tema Tradisi Kehidupan Masyarakat Dukuh Paruk yang Mengalami Keterbelakangan, membahas tentang kemiskinan dan kebodohan masyarakat Dukuh Paruh serta tradisi ronggengnya.
2.      Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini terdapat berbagai hal yang menarik, salah satunya ialah mengenai keterbelakangan tradisi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk  dapat terlihat jelas dari rangkaian cerita. Animisme yang masih dipercaya, membuat pemikiran tentang ronggeng dibenarkan. Bahkan banyak warga Dukuh Paruk yang berbicara dengan kata-kata yang kasar dan tidak mendidik, serta kelakuan yang jauh dari logika masyarakat modern. Kemiskinan dan kebodohanlah yang menyebabkan warga Dukuh Paruk mengalami ketidaktahuan dan keterbelakangan. Cara beragama antar daerah yang satu dengan yang lainnya memang dapat berbeda, perilaku keberagaman dipengaruhi oleh  kultur setempat. Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan struktur yang ada, tetapi sebaiknya tradisi yang ada disesuaikan dengan logika hidup yang dinamis.



[1] Farihah Wachdin, Ronggeng Dukuh Paruk (Studi Semiologi tentang Representasi Diskriminasi Perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, diunduh pada tanggal 10 Mei 2013 pukul 15.03 WIB, http://eprints.upnjatim.ac.id/3635/

[2]Ali Imron, Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh paruk, diunduh pada tanggal 10 Mei 2013 pukul 15.05 WIB, http://pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/06/ali-imron.pdf

[3]Tian, Pandangan Tokoh Srintil terhadap Tradisi Ronggeng dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk,http://tianfatmanuraini.blogspot.com/2011/07/pandangan-tokoh-srintil-terhadap.html, diakses tanggal 10 Mei 2013 pukul 15:18 WIB
[4]“Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng”, Majalah Editor, 14 Oktober 1989, nomor 6
[5]Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005) h.67
[6]Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003) h. 86
[7]Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 194.
[8]Edy Sembodo, Contekan Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Mizan, 2010), h. 6
[9]Ibid h. 7
[10]M. Atar Semi,Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa, 1988), h. 47
[11] Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia Vol 1 (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar