BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dunia
kesastraan mengenal novel sebagai salah satu genre sastra di samping
genre-genre yang lain. Banyak novel yang dituliskan pengarang sebagai salah
satu wujud untuk menuangkan inspirasinya berupa dari sejarah, pengalaman
pribadi, maupun pengalaman orang lain ke dalam karya-karya
yang ditulisnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan
sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.Bahkan seringkali
masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman.
Novel
Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel
ketiga yang ditulis oleh Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh Gramedia, pada
tahun 1982. Dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk selain kisahnya berisikan dunia ronggeng di dukuh paruk, novel ini
juga dapat dijadikan sebuah dokumentasi sosial pada masa pergolakan politik di
Indonesia, bahkan hingga kini masih banyak rakyat yang sengsara. Karya sastra
yang mengisahkan perubahan sosial-politik pada kurun waktu sekitar 1965 tentang
terjadinya geger politik yang melibatkan banyak korban, baik korban politik
maupun korban kemanusiaan sehingga banyak karya sastra yang mengusung tema
mengenai masyarakat kecil yang tertindas oleh kesewenang-wenangan para
penguasa. Ahmad Tohari mencoba mendeskripsikannya lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil sebagai
tokoh utama pada novel merupakan perempuan yang berperawakan cantik dan
menarik, digambarkan sebagai perempuan yang sempurna fisiknya. Penulis tertarik
untuk mengkaji tentang keterbelakangan
tradisi dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk karena
kurang menyetujui tentang nilai norma kehidupan Islam yang dituangkan Ahmad Tohari.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditemukan beberapa masalah
yang dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Bagaimana
analisis objektif novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2. Bagaimana
keterbelakangan tradisi
dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk?
C.
Tujuan
Analisis melalui
pendekatan objektif dalam karya novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
bertujuan untuk:
1. Untuk
mengetahui objektif novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2. Untuk
mengetahui keterbelakangan
tradisi
dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk.
D.
Tinjauan
Pustaka
Ronggeng Dukuh Paruk pernah
dikaji dalam skripsi Farihah Wachdin pada tahun 2012, NPM 0843010154, Jurusan
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Pembangunan
Nasional “VETERAN”. Judul yang dikaji adalah Representasi Diskriminasi
Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh
Paruk (Studi Semiologi tentang Representasi Diskriminasi Perempuan dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari.
Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana representasi diskriminasi perempuan
melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
analisis semiologi Roland Barthes. Subjek penelitian adalah novel Ronggeng
Dukuh Paruk dan objek penelitian adalah teks yang mempresentasikan
“diskriminasi perempuan”. Korpusnya
adalah semua teks yang mempresentasikan diskriminasi perempuan. Landasan teori
yang digunakan adalah novel, diskriminasi, representasi, semiologi Roland
Barthes memaknai leksia-leksia yang dapat mempresentasikan diskriminasi
perempuan pada teks novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Dalam penyajian data dan
hasil analisis data, peneliti memilah-milah 5 kode pembacaan dalam leksia yang
telah ditentukan yaitu : kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode
proaretik, dan kode gnomik. Setelah melalui kode pembacaan Barthes tersebut
ditemukan makna representasi diskriminasi dalam bentuk pembatasan, pelecehan,
pengucilan terhadap manusia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat 22
leksia yang mempresentasikan diskriminasi perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk. Kata kunci:Representasi,Semiologi,Diskriminasi,Novel,Ronggeng Dukuh
Paruk.
Penelitian mengenai eksistensi Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Ali Imron
dari Pendidikan Linguistik Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret pada
tahun 2006, yang berjudul “Ahmad Tohari dan
Ronggeng Dukuh paruk”.
Kesimpulan
skripsi ini yaitu: (1). Mencermati kekuatan dan keunikan dan kekhasan
karya-karyanya maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan
sastrawan-sastrawan terkemuka negeri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan Ronggeng
Dukuh Paruk yang memiliki kontribusi penting dalam jagat sastra Indonesia. (2).
Figur tokoh Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai cerminan dari Ahmad Tohari, (3). Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah
kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid’ah
budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis
BAB II
Keterbelakangan Tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad
Tohari
A.
Biografi Pengarang
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya,
kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948. Ia menempuh pendidikan formalnya hanya mencapai
SMAN di SMAN II Purwokerto. Akan tetapi, ia pernah menjelajahi pengalaman
pendidikan di beberapa fakultas, seperti fakultas ekonomi, sosial politik, dan
kedokteran di salah satu universitas yang berada di Jakarta dan Purwokerto
walaupun semuanya tidak berhasil diselesaikannya. Dalam dunia jurnalistik ia
pernah menjadi redaktur pada harian merdeka sejak tahun 1979 hingga 1981,
dilanjutkan dengan menjadi staf redaksi hingga 1986, dan setelah itu menjadi
dewan redaksi pada majalah amanah hingga 1993. Selain itu, ia pun menjadi
penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis yang aktif
mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Di desa Tinggarjaya,
Ahmad Tohari merawat sebuah pesantren bersama istrinya, Syamsiah yang bekerja
menjadi guru sekolah dasar. Mereka menghidupi ketiga anaknya dengan pendidikan
yang tinggi. Hampir semua karya Ahmad Tohari
terilhami oleh kisah nyata yang menggambarkan lingkungan di sekitarnya,
kemudian ia tuangkan dalam bentuk karya
sastra yang dilengkapi dengan manipulasi dan imajinasi tertentu yang turut
memberikan makna serta memperindah karya yang diciptakannya karena Ahmad Tohari yakin bahwa karya sastra merupakan bentuk
lain dari berdakwah yang tujuannya untuk mencerahkan batin manusia dan sebagai sarana mengingatkan masyarakat agar
semakin beradab.
Pada paruh kedua dekade 1970-an ketika cerpennya, Jasa-jasa Buat Sanwirya memenangkan hadiah dalam sayembara kincir
emas radio nederland wereldomroep (1975), lalu menerima berbagai penghargaan
dan melahirkan novel trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk yang terdiri atas Catatan
Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan
Jentera Bianglala, nama Ahmad Tohari
semakin tekenal. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sering pula disebut-sebut oleh
para kritikus sastra Indonesia sebagai karya agungnya karena karya itulah yang
melambungkan nama Ahmad Tohari ke puncak popularitas sebagai sastrawan
Indonesia sehingga nama Ahmad Tohari dalam jagat sastra Indonesia tidak dapat
terlepas dari trilogi Rongeng Dukuh Paruk.
Kalem dan
bersahaja seperti kalimat-kalimat pendek dalam karya-karyanya adalah cermin
dari Ahmad Toharin. Ia orang yang tidak munafik. Kendati dididik dalam
lingkungan islam yang ketat, ayahnya seorang kiai. Ayah lima anak itu kenal
betul kehidupan ronggeng yang bisa dikatakan menganut paham seks bebas.
B.
Latar
Belakang
Lahirnya Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan
manifestasi dunia rekaan Tohari. Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan
di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa tentu saja ia
memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap
dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia dilahirkan dan
dibesarkan. Alam pedesaan dengan masyarakat dan sejumlah masalahnya menjadi
ciri khas cerita pada novel ini. Novel yang berkisar tahun 1965 dengan cerita
yang serupa dengan . Suatu beban bathin yang berat, yang harus ditanggung oleh
tokoh. Luka-luka peristiwa Oktober 1965 yang masih terasa perih. Ketika tahun
1965, usia Ahmad Tohari 16 tahun. Ia pernah melihat orang membunuh orang dengan
sadar, ia termasuk idealistis dan peka.
Dalam Ronggeng
Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menuliskan masyarakat jahiliyah nyaris secara ekstrem
dengan kemaksiatannya, kecabulannya dan sumpah serapahnya. Ahmad Tohari
menginginkan gambar kejahilan yang lengkap, bahkan aspek kemusyrikannya pun
sengaja angkat lebih tinggi.
C.
Sinopsis
Cerita ini berawal dari suatu desa
terpencil, Dukuh Paruk yang kering kerontang telah menampakan
kehidupannya kembali ketika Srintilmenjadi ronggeng. Penduduk Dukuh Paruk yang merupakan keturunan
Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka menganggap
bahwa kehadiran Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan.
Srintil adalah potret anak dukuh paruk yang yatim-piatu akibat bencana
tempe bongkrek. Enam belas penduduk meninggal karena memakan tempe yang terbuat
dari ampas kelapa tersebut. Tak
terkecuali juga kedua pembuat tempe itu, yaitu
kedua orang tua Srintil. Setelah malapetaka itu terjadi, Srintil yang masih
bayi kemudian dipelihara oleh kakek neneknya, Sakarya suami istri, sampai pada
akhirnya mereka menyadari ternyata Srintil memiliki indang ronggeng sehinnga
kakek Srintil menyerahkannya kepada dukun ronggeng yang bernama Kartareja.
Sekejap Srintil telah menjadi
primadona yang menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan jati
dirinya.
Rasus yang sangat benci dan kecewa menerima kenyataan bahwa Srintil benar-benar
menjelma menjadi seorang ronggeng. Sebab, Srintil adalah perempuan yang sangat dicintainya.Setelah Srintil benar-benar menjadi seorang ronggeng, Rasus kehilangan
sosok emaknya dan berpikir bahwa Srintil bukan lagi miliknya
sendiri, melainkan milik semua orang. Ia pun kemudian meninggalkan dukuh
paruk dan bertempat tinggal di desa Dawuan. Rasus bertemu dengan kelompok tentara sehingga
membuat Rasus tergabung menjadi serdadu.
Menjelang tahun 1965 mengubah
sendi-sendi kehidupan Dukuh Paruk. Pedukuhan yang selama ini hanya mengenal
suara calung dan tembang ronggeng itu mulai disusupi paham-paham dan
lambang-lambang partai.Peristiwa
G30S PKI meletus dan keadaan berbalik, PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh
Paruk pun dituding sebagai antek komunis karena seringnya mereka meramaikan
kampanye politik partai itu. Dukuh Paruk kemudian hancur bersama kobaran api,
pedukuhan itu menjadi tumbal kemarahanterhadap PKI.
Setelah dibebaskan dari penjara, Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Srintil
berniat memperbaiki citra dirinya, meninggalkan dunia ronggeng, dan menata
hidup sebagai perempuan yang tidak mau dimiliki oleh semua orang, ia ingin
menjadi istri dari seorang lelaki dengan mengharapkan kehadiran Rasus. Letih
menunggu Rasus, ternyata Bajus muncul
dalam hidupnyadan sepercik harapan pun timbul, harapan yang makin lama
makin membuncah. Srintil
berharap Bajus menikahinya. Akan tetapi, harapan itu hancur ketika Bajus yang
terkesan akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng
yang boleh dimiliki oleh semua lelaki. Hancur leburlah hati Srintil tak kuat
menahan penderitaan batinnya sampai kemudian Srintil
menjadi gila yang pada akhirnya menyisakan luka di hati Rasus.
D.
Analisis
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari
1.
Kajian
Objektif (Unsur Instrinsik)
a.
Tema
Tema menurut
staton dan kenny dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, adalah makna yang dikandung
oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh
cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang dapat dinyatakan
sebagai tema itu.
Dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk tema yang
mendasari cerita adalah Tradisi Kehidupan Masyarakat Dukuh Paruk yang Mengalami
Keterbelakangan.
Hal
itu terlihat pada kutipan:
“Murka tidak kepalang yang mengusik Dukuh Paruk
membuat ronggengnya tidak kehabisan semangat. Pada akhir bulan September 1965
itu Srintil sudah dua minggu manggung terus-menerus di arena pasar malam di
lapangan kota Dawuan atas nama kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat
dengan pemberontakkan budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada
pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena.
Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget dan menciumi Srintil sepuas
hati. Cuma-cuma. “ (RDP.237)
b.
Tokoh
Tokoh
adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa dalam
cerita. Di samping tokoh utama, ada jenis tokoh lain yang terpenting adalah
tokoh lawan, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama, yakni
tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Tokoh yang fungsinya hanya
melengkapi disebut tokoh bawahan.
Motif
Seorang
gadis yang mempunyai bakat menari dan disuruh menjadi ronggeng oleh kakeknya.
|
|
Tujuan
Ingin
terlepas dari tekanan batin menjadi seorang ronggeng.
|
|
Tokoh
Utama
Srintil
|
|
|
|
|
|
Ronggeng
|
|
Penghalang
Rasus
Bakar
|
|
Pendukung
Kartareja
dan istri
Sakarya
Sakum
Bajus
|
·
Karakter Srintil
Digambarkan sebagai perempuan
dengan keluguannya yang pada akhirnya harus menjadi korban otoriter atau geger
komunis.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tentang orang
yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada
hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa Saudara
Kartareja dan Saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan.Ini
perintah atasan.Dan kami hanya melaksanakan tugas.”(RDP.241)
·
Karakter Rasus
Digambarkan sebagai tokoh yang
berani, teguh pendiriannya.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tetapi yang aku temukan sebatang gagang
pacul.Ketika perampok itu membelakangiku, aku maju dengan hati-hati.Pembunuhan
kulakukan untuk pertama kali.”(RDP.101)
Digambarkan sebagai tokoh yang
cinta kampung halamannya.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang
kecil itu kembali kepada keasliannya” (RDP.107)
·
Karakter Kartareja dan istrinya
Memiliki karakter yang serakah yang
tergiur dengan harta. Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tetapi ringgit emas bisa masuk saku celana. Bagus,
tidak kotor, dan aku tak kan disusahkannya dengan urusan kandang, rumput, serta
bau busuk.” Ujar kartareja sambil membuang muka (RDP.70)
·
Karakter Sakarya
Seorang kakek yang menghormati
tradisi leluhur atau nenek moyang.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada
kartareja. Itu hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng”
(RDP.17)
·
Karakter Sakum
Kakek buta yang pengertian dan peka.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Lho, sampean menangis?”
“Aku tidak menangis, Kang.Tidak.”
“Jangan
bohong.Aku mendengar napas orang menangis. Percuma, Jenganten. Jangan menangis.” (RDP. 335)
·
Karakter Bajus
Seorang pemuda yang berasal dari
Jakarta yang pura-pura baik, mempunyai penyakit impoten.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Memang
laki-laki itu bukan dia yang paling banyak membuat catatan yang berkesan di
hati.Dia bukan Rasus, melainkan Bajus.”(RDP. H. 369)
“Bajus yang kini impoten.kini tak ada pesona.”(RDP.386)
·
Bakar
Seorang
yang berpura-pura baik atau munafik. Hal ini terdapat pada
kutipan:
“Kemudian Bakar memang
berhenti pada titik yang bersahaja.Di luar Dukuh Paruk, Bakar berpropaganda
macam-macam yang pasti sulit dimengerti oleh orang Dukuh Paruk.Misalnya tentang
perjuangan kaum tertindas untuk mendapatkan kembali hak-haknya.” (RDP.230)
c.
Sudut
Pandang
Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita akuan yang
berada dalam cerita atau pencerita diaan yang berada di luar cerita.
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah sudut
pandang tokoh “aku” dalam sebuah cerita dapat mengacu dua pengertian. Ahmad
Tohari menggunakan sudut pandang yaitu Pertama, sebagai pelaku yang secara
langsung terlibat dalam cerita (“aku” pelaku/ Rasus); kedua sebagai pencerita
yang berada di luar (“aku” pencerita).
Sudut pandang aku sebagai tokoh cerita (Rasus) terlihat pada kutipan
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat
dengan makam Ki Secamenggala pula kita bisa kualat nanti,” jawabku. Dalih yang
sangat gemilang mendadak muncul di otakku (RDP. H. 67)
Sedangkan sudut pandang aku sebagai pencerita berada di luar terlihat pada
kutipan
“Rasus tersentak ke belakang.
Pelupuh yang berderit membuat Sakum tersenyum dan menanti. Namun sama sekali
rasus hanya mendesah dan mengeluh. ketika akhirnya Rasus membuka mulut
kata-katanya sudah melompat jauh ke lain persoalan” (RDP. H. 356)
d.
Alur
Alur
adalah rangkaian peristiwa yang terjalin dalam suatu cerita. Alur sederhana
terdiri dari perkenalan, awal konflik, konflik, klimaks, dan antiklimaks.
Alur
yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk adalah alur maju, karena peristiwa tersebut berjalan teratur dan
berurutan sesuai dengan urutan waktu kejadian dari awal sampai akhir cerita.
AWAL-EKSPOSISI
Tahap Awal
disebut juga tahap pengenalan. Dalam hal ini, tahap awal tergambar ketika
memperkenalkan kondisi yang terjadi mengenai pedukuhan dukuh paruk melalui
peristiwa tragis tempe bongkrek dan awal kisah tokoh Srintil yang akan menjadi
seorang ronggeng dengan berbagai ritual yang dijalani. Hal ini terdapat dalam
kutipan:
“Dalam
haru-biru kepanikan kata-kata ‘wuru bongkrek’ mulai diteriakkan orang.
Keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah mendengar
teriakan demikian.”(RDP.25)
“Srintil
sudah menjadi ronggeng di dukuhku.Usianya sebelas tahun.” (RDP.36)
“Namun adat
Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum
Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu
diantaranya adalah upacara permandian yang secara turun temurun dilakukan di
depan cungkup makan Ki Semacenggala.”(RDP.43)
“…syarat
terakhir yang harus dipenuhi oleh srintil bernama ‘bukak-klambu’. …bukak-klambu
adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan
adalah keperawanan ronggeng”(RDP.51)
KONFLIK
1.
Rasus melihat sosok emaknya ada pada Srintil, tetapi
Srintil ingin menjadi Ronggeng.
Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Aku
percaya; hanya aku yang sejak anak-anak mengkhayalkan demikian dalamnya tentang
seorang emak. ..akhirnya aku dapat mendatangkan ilusi; bahwa yang berdiri
telanjang di depanku bukan Srintil, bukan pula ronggeng Dukuh Paruk, melainkan
perempuan khayali yang melahirkan diriku sendiri.”(RDP.67)
2.
Srintil mengalami tekanan batin, dia ingin mempunyai
anak akan tetapi telur rahimnya sudah diangkat oleh Nyai Kartareja.
Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“…bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya,
peranakannya.”(RDP.90)
KOMPLIKASI-RUMITAN
1.
Srintil mencintai Rasus tetapi Rasus menolaknya karena
Srintil seorang ronggeng.
Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Aku akan memberi kesempatan
kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali pada keasliannya. Dengan menolak
perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberikan sesuatu yang paling berharga
bagi Dukuh Paruk: RONGGENG.”(RDP.107)
2.
Rasus meninggalkan Srintil pergi.
Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Sampai di
tengah pesawahan aku menoleh ke belakang.Aku tersenyum sendiri, lalu bergegas
meneruskan perjalanan. Dengan tangan memaggul bedil, rasanya aku gagah.” (RDP.107)
KLIMAKS
1.
Srintil tidak ingin menjadi ronggeng lagi. Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“ketika sedang mandi kata-kata Sakum terus mengiang di telinga srintil; dia
bukan lagi ronggeng. Duh, pangeran, alangkah enak didengar. Sekarang baru Sakum
seorang yang mengatakan aku bukan ronggeng. Aku akan membuktikan diri sehingga
nanti semua orang berkata seperti Sakum. (RDP.336)
2.
Rasus memilih
untuk tetap melanjutkan pengabdian menjadi tentara.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Anu, kang. Lusa aku akan berangkat tugas ke Kalimantan. Pokoknya aku tidak
bisa apa-apa.”(RDP.356)
TURUNAN
1.
Rasus berpesan
kepada Kartareja untuk menjaga Srintil. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Bila ada lelaki baik-baik yang berminat mengambil Srintil, maka bantulah
keduanya. Tapi bila ada lelaki yang dating hanya untuk bermain-main, tolong
katakan kepada Srintil sekarang dia tidak boleh berperilaku seperti dulu. Aku yang
melarangnya, Kek.” (RDP.360)
2.
Srintil bahagia
memiliki Goder. Hal
ini terdapat dalam kutipan:
“Mula-mula Srintil hanya berbicara kepada Goder,
memperkenalkan ini-itu kepadanya.Lalu ketawanya pecah ketika mendengar Goder
minta dibelikan kuda penarik andong seperti yang baru dilihatnya.Tertawa lagi
setelah Goder bartanya, apakah karung yang dibawa orang tadi tidak berisi
kepala manusia.” (RDP.363)
PENYELESAIAN
1.
Srintil menjadi gila. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Srintil
berjalan seperti tidak melihat apa pun meski kedua matanya terbuka lebar dan
tidak berkedip. Bajus merasa seperti sedang menuntun orang setengah lumpuh dan
buta.”(RDP.386)
2.
Rasus menyadari
kesalahan dan membawa Srintil ke Rumah sakit jiwa.
Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Perjalanan dua jam dari Dukuh Paruk terasa amat menekan. Ketenangan yang
meliputi hatiku hamper berakhir ketika becak berenti di gerbang rumah sakit
tentara.” (RDP.402)
“Maaf, pasien itu calon istri sampean barangkali?’
“Ya!”
Bening.Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega.
Lega.Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku
telah ku robohkanhanya dengan sebuah kata yang begitu singkat.(RDP.402-403)
e.
Latar
Latar adalah lingkungan yang
melingkupi tokoh-tokoh yang ada pada cerita.
TEMPAT
1.
Dukuh Paruk, Banyumas (Jawa Tengah). Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Siapapun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua
bertembang kidung dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng.” (RDP.11)
2.
Pasar Dawuran. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Pasar Dawuan sedikit demi sedikit meregangkan hubunganku dengan Srintil.”
(RDP.84)
3.
Pemakaman Secamanggela. Hal ini terdapat dalam
kutipan:
“Tetapi
mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di pegunungan bukit kecil
di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka.” (RDP.10)
WAKTU
1.
1946 peristiwa tempe bongkrek. Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat
mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946.” (RDP.21)
“Kang, apa tidak kau dengar orang-orang mengatakan mereka keracunan tempe
bongkrek? Bongkrek yang kita buat? Ini bagaimana, kang?”(RDP.25)
2.
1964 di
tengah rapat umum
“tetapi pada tahun 1964 itu, ketika panceklik merajalela di mana-mana,
ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas” (RDP.228)
3.
1964 kejayaan Srintil
“Bilapun ada tak seorangpun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan
sampai pada tahun 1964. Dukuh Paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng
cantik berusia Sembilan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang
belum pernah terjadi sebelumnya.”(RDP.226)
4.
1965 pergolakan politik.
“pada tahun 1965 itu siapapun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai
atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.” (RDP.236)
“Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada dasar malam bulan
September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena.” (RDP.237)
5.
1969 dukuh
paruk miskin
“Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan
bodoh.” (RDP.238)
“Memasuki tahun 1970, kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan beruabh gemuruh
oleh deru truk-truk besar berwarna kuning dan buldoser dari berbagai jenis dan
ukuran.” (RDP.361)
SUASANA
1.
Mencekam pada tahun 1965, Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping
hijau itu dan meski mereka tak bisa membaca, tetapi mereka telah mengerti
sesuatu.”(RDP.235)
2.
Bahagia
“Banyak perempuan dan anak-anak memenuhi rumah Kartareja. Mereka ingin
melihat Srintil dirias. Sepanjang usianya yang sebelas tahun, baru pertama kali
Serintil menjadi perhatian orang. Dia tersipu.
Terkadang tertawa kecil bila dia mendengar orang berbisik memuji
kecantikannya. (RDP.18)
3.
Sedih
“Sakarya menjatuhkan pundak dan mendesah. Sambil menggendong kedua tangan
orang tertua di Dukuh Paruk berjalan berkeliling menatap reruntuhan cungkup
makam.” (RDP.236)
4.
Marah
“Belum pernah sekalipun Dukuh Paruk merasa terhina demikian dalam. Dia
muram dan diam menahan murka. Semua warganya memusatkan kebersamaan rasa, siap
membayar kembali dengan tunai penghinaan yang mereka terima. Dan balas dendam
itu hanya tertunda karena orang-orang Dukuh Paruk berlum menemukan nama-nama
para penghina itu.” (RDP.236)
f.
Gaya
Bahasa
Gaya bahasa yang dimaksud adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan
bahasa yang merupakan suatu sarana sastra yang amat penting.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari gaya bahasa yang digunakan bahasa sastra dengan pendeskripsian
suasana yang mengkiaskan alam sekitar dengan bahasa yang indah.
Hal ini
terdapat dalam kutipan:
“Sepasang
burung bangau melayang meniti angina, berputar-putar tinggi di langit. Tanpa
sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya.” (RDP.9)
Selain itu terdapat majas personifikasi yaitu pada kutipan:
“Pucuk-pucuk
pohon di Pedukuhan sempit itu bergoyang.Daun
kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumput bamboo berderit
baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk.Layang-layang
yang terbuat dari daun gadung meluncur
naik. (RDP.9)
Terdapat pula majas metafora dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu pada kutipan:
“Kecantikan
yang tak ada refrensinya pada wajah patung Venus atau Dewi Aphrodite, melainkan pada
wajah Pradnya Paramita.” (RDP.373)
Dalam novel ini juga menggunakan kosa kata Jawa (beberapa Dialeg Banyumas)
dalam penyebutan lagu daerah, mantra-mantra, jenis binatang, tumbuh-tubuhan,
dan paggilan kehormatan.
Lagu daerah Banyumas dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk terdapat lagu kebanggaan para ronggeng yang sering dinyanyikan
Srintil yang menggunkan bahasa Jawa. Hal ini terdapat dalam kutipan:
Sengkang ceplik, cunduk jungkat sarwi wungu
Pupur lelamatan
Nganggo rimong plangi kuning
Gandanira kaya sekar dhedhemplonan.(RDP.H. 196)
Mantra-mantra yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk:
Uluk-uluk perkutut perkutut manggung
Teka saka ngendi,
Teka saka tanah sabrang
Pakanmu apa,
Pakanku madu tawon
Manis madu tawon,
Ora manis kaya petuku, Srintl. (RDP.18)
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat bahasa panggilan kehormatan,
yaitu Jenganten, wong ayu, wong kewes,cah
bagus, kang, mbakyu
“sampaen harus beristirahat, jenganten.”(RDP.192)
Dalam novel ini juga terdapat kata-kata umpatanyang khas jawa yang
digunakan oleh pengarang yaitu: bajul
bunting, asu bunting, munyuk, cecunguk. Seperti dalam kutipan.
“Santayib
engkau Anjing!Asu bunting lihat, bokor ini biru karena beracun.”(RDP.26)
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
ditemukan juga bahasa Jawa yang digunakan pengarang terdapat kaitannya dengan
dunia ronggeng, seperti indang, susuk, bukak klambu, calung, tayub. Hal ini
terdapat dalam dalam kutipan:
“Bagaimanapun
diajari, seorang perawan tak bias menjadi ronggeng kecuali roh Indang telah
merasuk tubuhnya. Indang adalah
semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.” (RDP.13)
“Tetapi
sebagian besar segera memadamkan keinginannya setelah mengerti apa syarat untuk
tidur bersama srintil pada malam bukak-klambu.”(RDP.52)
g.
Amanat
Jadilah
manusia yang dinamis, mengikuti
perkembangan zaman,
agar tidak menjadi
masyarakat yang mengalami keterbelakangan.
3.
Keterbelakangan
Tradisi
dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Tradisi
merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu
lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi
dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu
sehingga menjadi kebiasaan. Dalam Ronggeng
Dukuh Paruk, terdapat gambaran tentang dunia Dukuh Paruk yang miskin,
kumuh, dan bodoh. Kemiskinan, kekumuhan, dam
kebodohan Dukuh Paruk merupakan simbol ketidaktahuan
dan keterbelakangan. Dunia itu adalah sebuah dusun di Banyumas, Jawa Tengah,
dusun para ronggeng yang tidak beradab, yang menyerahkan dirinya hanya kepada
dorongan-dorongan alamiah. Orang-orang yang hidup di dalamnya pun adalah
orang-orang yang tidak mampu melepaskan diri dari alam, dari tradisi yang sudah
lama membungkam mereka. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
“Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang
mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya.
Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh
Paruk menjadi kiblat kebatinan kehidupan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada
nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh
Paruk berpusat di sana.” (RDP.10)
“Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar.
“Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga,
sungguh bajingan.” (RDP.11)
Pada kutipan tersebut bisa dilihat
bahwa dunia Dukuh Paruk amat jauh menghadirkan perilaku manusia yang tidak
pernah terbayangkan oleh orang kota yang sudah beradab.
Ronggeng bagi Dukuh Paruk seakan
menjadi sesuatu yang amat berharga dan patut dimuliakan. Seorang istri bahkan
tidak akan merasa dipermalukan bahkan merasa sangat bangga ketika suaminya
mampu menjadi orang yang paling lama menari bersama sang ronggeng. Dua orang
pemuda bahkan rela bertengkar demi dapat tidur bersama seorang ronggeng yang
masih kanak-kanak. Esensi tentang kebenaran yang banyak disepakati seakan tidak
berlaku bagi warga Dukuh Paruk.
Ronggeng adalah suatu penghargaan
terhadap leluhur, bukan pelanggaran terhadap norma. Tidak ada yang patut
disalahkan dan dibenarkan karena adat yang mengakar telah menanamkan pemahaman
yang jauh berbeda dengan kehidupan di luar Dukuh Paruk. Pernikahan bukan lagi
sebagai sesuatu yang dianggap sakral karena setelah menikah pun seorang
laki-laki masih dapat meniduri wanita bahkan istri orang lain. Dukuh Paruk
tidak pernah mempermasalahkan jika ada sepasang manusia yang tidur bersama dan
mereka bukan suami istri. Perkara yang mudah saja jika seorang suami menemukan
istrinya tidur dengan suami orang lain, maka suami akan membalas meniduri istri
orang yang meniduri istrinya. Tidak akan ada pertengkaran tentang kesusilaan di
Dukuh Paruk karena mereka memiliki caranya sendiri dalam menyikapi hal
tersebut. Berikut kutipannya.
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub,
suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.
(RDP.38)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa
semua penduduk Dukuh Paruk merestui tindakan tidak beradab tersebut.
Ada seorang gadis bernama Srintil yang demi tradisi dengan senang hati menyerahkan diri
untuk menjadi ronggeng. Srintil bangga menjadi seorang ronggeng karena banyak
pujian dan pemanjaan akan didapatkannya. Tapi ketika akan dilaksanakan malam
buka kelambu pun, ia sadar bahwa ia sedang diperjualbelikan. Bahkan ketika
dewasa, ia banyak bercerita tentang harapannya menjadi seorang istri dan
memiliki anak. Berikut kutipannya.
“Ah, Yu. Aku tak ingin makan apa pun. Yang kuharapkan
dari sampean bukan makanan melainkan anakmu. Nah, turunkan Goder, biar bermain
bersamaku. Tanganku sudah gatal ingin menimangnya. Mari.” (RDP.137)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa
seorang ronggeng sekalipun memiliki naluri sebagai perempuan normal, perempuan
yang memiliki harapan untuk dapat menjadi seorang ibu.
Di dalam cerita juga dihadirkan
seorang tokoh penting, yaitu Rasus. Berbeda dengan Srintil dan penduduk
dusunnya, Rasus adalah tokoh yang berjarak dari masyarakatnya dan sudah
terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan kota yang rasional dan empiris.
Dia tidak setuju dengan kebudayaan masyarakatnya, tidak setuju dengan “keronggengan”
Srintil. Karena itu, ia kemudian meninggalkan dusunnya dan menjadi tentara.
“...Semua tercengang hampir tak percaya bahwa Rasus
sama seperti mereka, anak Dukuh Paruk yang sebenar-benarnya.” (RDP.345)
“Jadi Pak Tentara itu saudara kita juga. Dulu, inilah
rumahnya,” kata anak Sakum. Wajah semua anak berseri-seri. (RDP.345)
Kedatangannya kembali ke dusunnya
setelah beberapa tahun mengembara dan bekerja di kota. Di luar dusunnya yang
aneh itu, membawa peran baru. Yaitu merekayasa masyarakat dusunnya dan berusaha
menjadikannya sebagai masyarakat dan kebudayaan yang beradab.
Keluguan warga Dukuh Paruk adalah
kejujuran tanpa pamrih, kehidupan yang harus dijalankan apa adanya. Pada saat
wajah Dukuh Paruk mulai tampak sumringah, datang antek-antek PKI (Partai
Komunis Indonesia) yang mencoba memanfaatkan popularitas Srintil dan keluguan
warga Dukuh Paruk. Terjadi geger komunis dan pergolakan politik serta kecemasan
warga Dukuh Paruk. Srintil dan warga Dukuh menerima malapetaka akibat
ketidaktahuan dan kebodohannya. Tragedi ini merupakan awal penjungkirbalikkan
nilai-nilai dunia peronggengan yang pernah diagungkan oleh Srintil dan warga
Dukuh Paruk. Dalam hal ini tampak jelas proses perkembangan watak Srintil.
Orientasinya peronggengannya punah bersama kehancuran jiwanya. Kehadiran tokoh
Bajus yang mengangkatnya dari keterasingan, mampu memulihkan harapan-harapan
baru bagi Srintil. Terlebih lagi, bahwa kedatangan Rasus ke dukuhnya, sama
sekali bukan untuk menyembuhkan luka pedukuhan itu, Rasus kembali menjadi anak
“mursal” pedukuhannya sendiri. Peran itu dilambangkan dengan usahanya diakhir
cerita untuk menyembuhkan Srintil dari penyakit gila, kehilangan akal. Berikut kutipannya.
Kegilaan
Srintil yang disebabkan oleh “kebodohannya”. Pertama, karena tidak mengetahui seluk-beluk kehidupan
politik kota di luar dusun, ia dan orang di sekitarnya ditipu oleh PKI.
Kedua, karena tidak mengetahui liku-liku kehidupan kota, ia tertipu oleh janji
Bajus yang datang dari kota. Bajus berjanji mengawininya, dan Srintil sangat
berharap dengan janji itu. Tetapi ternyata Bajus hanya menjadikan Srintil
sebagai pelacur yang disumbangkan ke pada pejabat untuk mendapatkan proyek.
Perubahan nilai peronggengan terjadi
dalam diri Srintil. Begitu pula dengan Rasus, telah tumbuh kesadaran untuk
kembali ke tanah leluhurnya, Dukuh Paruk. Setelah Srintil mengalami guncangan
hebat, Rasus juga mengalami guncangan batin dalam tugasnya di Kalimantan Barat.
“Sesuatu yang bagiku terasa lebih besar adalah
rusaknya konsep keprajuritan dalam jiwaku; lambat laun aku tidak merasa menjadi
Gatotkaca lagi.” (RDP.389)
Dari kutipan di atas, menunjukkan
kesadaran yang membawa Rasus pada satu sikap:
“Akulah yang secara moral paling layak mengambil
tanggung jawab bagi kemanusiaan Dukuh Paruk.” (RDP.392)
Maka manakala ia tahu keadaan
Srintil, Rasus, prajurit Dukuh Paruk bertindak sebagai pahlawan Dukuh Paruk.
Dengan demikian, kata Rasus,
menyembuhkan Srintil dan masyarakat dusunnya berarti melenyapkan kebodohan
mereka, keanehan mereka dan mengintegrasikan ke dalam masyarakat modern yang
beradab.
Keterbelakangan tradisi dalam Ronggeng Dukuh Paruk dapat terlihat jelas dari rangkaian cerita. Animisme yang masih dipercaya,
membuat pemikiran tentang ronggeng dibenarkan. Bahkan banyak warga Dukuh Paruk
yang berbicara dengan kata-kata yang kasar dan tidak mendidik, serta kelakuan
yang jauh dari logika masyarakat modern. Kemiskinan dan kebodohanlah yang
menyebabkan warga Dukuh Paruk mengalami ketidaktahuan dan keterbelakangan. Cara
beragama antar daerah yang satu dengan yang lainnya memang dapat berbeda,
perilaku keberagaman dipengaruhi oleh
kultur setempat. Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan struktur
yang ada, tetapi sebaiknya tradisi yang ada disesuaikan dengan logika hidup
yang dinamis.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk pada analisis ini mempunyai tema Tradisi
Kehidupan Masyarakat Dukuh Paruk yang Mengalami Keterbelakangan, membahas tentang kemiskinan dan kebodohan masyarakat
Dukuh Paruh serta tradisi ronggengnya.
2. Novel Ronggeng
Dukuh Paruk ini terdapat
berbagai hal yang menarik, salah satunya ialah mengenai keterbelakangan tradisi
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat
terlihat jelas dari rangkaian cerita. Animisme yang masih dipercaya, membuat
pemikiran tentang ronggeng dibenarkan. Bahkan banyak warga Dukuh Paruk yang
berbicara dengan kata-kata yang kasar dan tidak mendidik, serta kelakuan yang
jauh dari logika masyarakat modern. Kemiskinan dan kebodohanlah yang
menyebabkan warga Dukuh Paruk mengalami ketidaktahuan dan keterbelakangan. Cara
beragama antar daerah yang satu dengan yang lainnya memang dapat berbeda,
perilaku keberagaman dipengaruhi oleh
kultur setempat. Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan struktur
yang ada, tetapi sebaiknya tradisi yang ada disesuaikan dengan logika hidup
yang dinamis.
Farihah Wachdin, Ronggeng Dukuh Paruk (Studi Semiologi tentang Representasi Diskriminasi
Perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, diunduh pada
tanggal 10 Mei 2013 pukul 15.03 WIB, http://eprints.upnjatim.ac.id/3635/
Ali Imron, Ahmad Tohari dan Ronggeng
Dukuh paruk, diunduh pada
tanggal 10 Mei 2013 pukul 15.05 WIB, http://pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/06/ali-imron.pdf
Abdul
Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 194.