Cari Blog Ini

Kamis, 19 Maret 2015

book review novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis

Kelangkaan Beras Pasca Kemerdekaan
Dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis
 oleh Syafrida

            Novel Jalan Tak Ada Ujung merupakan salah satu karya Mochtar Lubis yang diterbitkan pertama kali oleh Dunia Pustaka Jaya pada tahun 1952. Novel ini ditulis dengan latar belakang perjuangan revolusi Indonesia. Kejadian dalam novel ini terjadi pada pasca kemerdekaan yang diproklamasikan oleh soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan tetap saja Indonesia mengalami kekacauan karena kedatangan NICA. Pada saat itu masih sering ada pertempuran antara serdadu Belanda dengan rakyat. Dengan liciknya belanda pada saat itu menutup akses impor ekspor di indonesia sehingga pada saat itu diceritakan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung masyarakat mengalami keadaaan ekonomi yang tidak lancar apalagi kebutuhan sehari-harinya khususnya kebutuhan pokok sulit untuk terpenuhi dan mengalami kenaikan harga yang tinggi, seperti halnya beras sebagai bahan makanan pokok penduduk Indonesia yang susah di dapat, sehingga harganya pun menjadi lebih mahal dari biasanya. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung menggambarkan susahnya kebutuhan pokok yang didapatkan akibatnya harga kebutuhan pokok naik dan tokoh yang ada di dalam novel tersebut terkejut mendengar harga beras naik sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
“Kasih saya beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu membungkus beras dua liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan itu.
“Enam rupiah!”
“Ah, naik lagi. Kemaren dulu juga seringgit,” bantah perempuan itu.
“Beras susah masuk sekarang,” anak itu membela harganya.
(Mochtar Lubis, 2010: 5)

Kelangkaan barang dalam suatu wilayah menyebabkan harga yang tak terkendali. Akibatnya penduduk kecil tidak mampu membeli beras untuk sekedar mengisi perutnya. Mereka mengharapkan hutangan beras agar dapat makan barang satu hari saja. Seperti dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, seorang perempuan menggendong anak kecil yang berenti di depan warung Baba Tan yang menginginkan beras saat itu.

“Saya ngutang saja,” sahut perempuan itu, dan tangannya menjangkau bungkusan beras.
“Tidak boleh bon lagi sekarang,” kata Baba Tan dari pintu warung. Dia telah lama berdiri di sana mendengarkan.
“Tapi saya langganan lama.”
“Ya, tapi sekarang semua susah, saya juga banyak yang susah,” kata Baba Tan. “Tidak bisa kasih utang. Tidak bisa.”
Perempuan itu menarik tangannya kembali dari bungkusan besar dan berdiri diam. Ke mana aku harus pinjam uang, pikirnya.
(Mochtar Lubis, 2010 : 5)

Hal ini lebih dikuatkan oleh pernyataan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung seorang saudagar beras yaitu Tuan Hamidy yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan beras. Bahkan satu karung beras pun tidak sampai padanya.

“Selamat pagi, Tuan Hamidy,” katanya membalas tersenyum ramah, dan dia berhenti, “bagaimana beras dari Karawang?” tanyanya. Ke dalam kepala Guru Isa masuk suatu pikiran.
“Minggu ini tidak sekarung yang bisa masuk. Semuanya ditahan oleh anak-anak di cikarang”
(Mochtar Lubis, 2010: 66)

            Keadaan ekonomi di indonesia semakin terpuruk pasca kemerdekaan, hal ini dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat yang sulit didapatkan. Pada saat itu  di dalam novel Jalan Tak Ada Ujung guru Isa yang pegawai negeri juga susah mendapatkan kebutuhan pokok karena kurangnya penghasilan yang dia dapatkan. Penghasilannya tidak sesuai dengan harga beras dan kebutuhan pokok yang naik pada saat itu.
“Kalau hari ini engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu lagi kemana harus menghutang beras,” kata Fatimah padanya, menuangkan kopi untuknya. “Gula pun telah habis. Kepada Bibi Tatang aku telah menghutang beras lima liter. Belum juga aku ganti sudah seminggu. Sedang aku berjanji mengembalikannya dalam dua hari. Mambon di warung susah benar sekarang. Hutang pada tukang sayur telah lama aku tidak bayar.”
(Mochtar Lubis, 2010: 65)

Defisitnya perekonomian Indonesia saat itu pasca kemerdekaan sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Mereka hidup seadanya dengan serba kekurangan khususnya kekurangan kebutuhan sehari-hari, kebutuhan pokoknya yaitu beras, seperti yang digambarkan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis.


book review novel Belenggu karya Armijn Pane

Agensi (Ikhtiar Wanita) pada Tokoh Yah (Siti Rohayah)
Dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane

            Novel Belenggu yang ditulis oleh Armijn Pane pada tahun 1930an, akan tetapi baru diterbitkan pada tahun 1940 oleh Dian Rakyat. Novel ini mengalami pro dan kontra pendapat. Armijn Pane menuliskan cerita yang berbeda yaitu tidak bercerita tentang tingkah laku tokoh melainkan sisi batin tokoh. Beliau menceritakan tokoh dalam novel ini yaitu terbelenggu oleh belenggu yang tidak bisa lepas yaitu kepada masa lalu masing-masing tokoh.
            Menurut Esay yang ditulis oleh Ruzy Suliza Hashim mengenai Kajian Gender dalam Novel Malaysia, Indonesia dan Negara Brunei Darrussalam. Agensi bermaksud kuasa yang diberikan kepada wanita untuk bertindak. Tindakan ini boleh berbentuk positif atau negatif. Dalam fahaman feminisme, wanita yang beragensi mempunyai empowerment. Empowerment begini penting karena tindakan seseorang wanita itu menunjukkan bahwa dia tidak lagi tunduk dengan amalan patriarki yang meletakkan dirinya sebagai lemah.
            Novel Belenggu karya Armijn Pane menggambarkan wanita yang beragensi yaitu pada tokoh Yah. Dalam tokoh Yah ini menpunyai dua agensi yaitu agensi yang positif dan agensi yang negatif. Agensi yang positif dalam tokoh Yah (Siti Rohayah) yaitu ketika Yah mampu mengambil keputusan untuk lari dan kabur dari perkawinan yang tidak bahagia yaitu  perkawinan yang berbeda umur jauh dan Yah tidak mencintai suaminya tersebut. Yah mampu mengatasi masalah yaitu dengan berani mengambil keputusan untuk meninggalkan suaminya dan pergi ke tempat lain. Yah dapat terlepas dari belenggu masa lalunya yaitu merasakan kebebasan hatinya ketika Yah berani mengambil keputusan untuk meninggalkan suami yang tidak dicintainya. Selain itu agensi positif Yah yang digambarkan pada novel Belenggu ini yaitu Yah dapat bertahan hidupnya walaupun Yah hidup sendiri karena orang tua Yah pergi dan sudah tiada ketika Yah hendak kembali ke Bandung. Dan pada akhirnya Yah memutuskan untuk dapat menghidupi kehidupannya sendiri.

“Engkau menempuh jalan kesenangan, aku menempuh jalan berduri, melukai seluruh jiwaku.... aku dikawinkan dengan laki-laki yang tidak kusukai, barangkali tiada mengapa kata orang cinta baru timbul, kalau sudah kawin tapi lakiku itu sudah tua... dua puluh bedanya umur kami, aku dibawanya ke Palembang. Ah, apa perlunya lagi kuterangkan panjang-panjang aku kemudian lari sampai ke Betawi, pulang ke Bandung, orang tuaku sudah tiada disana, aku tiada berumah tetap, rumahku di hotel berganti-ganti, pindah dari kota satu ke kota lain.”
(Armijn Pane, 2010 : 50)

            Selain memiliki Agensi yang positif tokoh Yah dalam novel Belenggu karya Armijn Pane juga memiliki agensi yang negatif yaitu ketika Yah memiliki keinginan dan berikhtiar dalam menggoda tokoh Tono yang sudah memiliki istri. Tokoh Yah merayu dan berusaha menggoda dokter Tono karena dahulu kala Yah pernah memendam rasa suka kepada Tono. Dengan berbagai cara Yah melakukan agar Tono dapat terpikat oleh Yah. Awal mulanya Yah berbohong dengan cara berpura-pura sakit agar Tono datang untuk memeriksa keadaan Yah. Kebohongan  itu berlanjut sampai Tono sering dan terus-menerus mengunjunggi Yah untuk memeriksa keadaannya. Yah berhasil menggoda Tono, semakin hari Tono semakin tergoda oleh Yah yaitu merasa nyaman ketika mendatangi Yah. Dalam novel Belenggu ini salah satu karakter Yah melukiskan sebagai wanita yang agresif. Agensi negatif juga ditemukan dalam Tokoh Yah yaitu ketika Yah memutuskan untuk mempertahankan pilihan hidupnya menjadi seorang pelacur.

“Dingin panas, tuan dokter, tapi tidak sepanjang hari, pagi-pagi saja habis bangun.” (Armijn Pane, 2010 : 21)

“ketika tangannya hendak ditaruhnya keatas perut si sakit itu, tangan kiri si sakit yang selama ini menutupkan kimononya, menyingkapkan kimono itu. Tangan Sukartono berhenti di awang-awang, tersirap dadanya sebentar, semata-mata karena terkejut, bukan karena hawa nafsu.” H. 21
“Dalam memeriksa penyakit nyonya Eni tadi pikiran Sukartono sudah berjalan. Tidak ada penyakit yang didapatinya....”
(Armijn Pane, 2010 : 22)

“....aku tiada berumah tetap, rumahku di hotel berganti-ganti, pindah dari kota satu ke kota lain.”  (Armijn Pane, 2010 : 50)


Dari kutipan diatas bahwa tokoh Yah digambarkan juga memiliki agensi negatif yaitu berpura-pura sakit untuk berusaha merayu-rayu dr. Tono sehingga tercapai agensi negatifnya terhadap dr. Tono. Dan ketika tokoh Yah memutuskan untuk menjadi pelacur sebagai pilihan hidupnya yaitu sesuai dengan kutipan tokoh Yah rumahnya selalu berpindah-pindah dan sering menggunakan nama samaran.

Rabu, 18 Maret 2015

sastra bandingan antara novel Indonesia dengan cerita rakyat

Kajian perkawinan paksa Karena Perbedaan Status Sosial
Dalam Novel Indonesia dengan Cerita Rakyat Jambi
     
Oleh : Syafrida 

Pengenalan
Dalam sastra bandingan umumnya berbicara mengenai relasi di antara dua buah karya sastra yang berbeda budaya tetapi memiliki kesejajaran baik dari segi bentuk maupun isi.
Pembahasan ini menyorot mengenai perkawinan paksa yang dikarenakan status sosial yang berbeda diantara pasangan yaitu “Mariamin dan Aminuddin” dalam novel indonesia azab dan sengsara karya Merari Siregar yang menyorot cinta tak sampai pada cerita ini yang dipermasalahkan mengenai harkat martabat keluarga (medan, sipirok), Dalam novel azab dan sengsara karya merari siregar berlatar sosial-budaya batak angkola. Novel yang dituliskan oleh merari siregar ini mengemukakan fakta-fakta tentang sistem perkawinan dengan cara paksa yang membedakan status sosial, peranan dan kedudukan marga, pengaturan harta warisan, adat istiadat dan tradisi-tradisi lainnya yang terdapat dalam daerah sipirok, kabupaten tapanuli selatan tempat penulis (merari siregar) dilahirkan.
Sedangkan dalam cerita rakyat jambi “putri rainun dan rajo mudo” perkawinan paksa mengenai seorang bangsawan dengan rakyat biasa yang pada zaman dahulu tidak diperbolehkan menikah, di jambi pada saat itu masih memberlakukan sistem perjodohan. cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo dari jambi adalah cerita pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap daerah yang memiliki kultur budaya yang beraneka ragam mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing daerah.


Perbandingan
Didalam pembahasan ini menyorot tentang perkawinan paksa dikarenakan perbedaan status sosial, sebelum mengkaji novel indonesia azab dan sengsara karya merari siregar dengan cerita rakyat jambi putri rainun dan rajo mudo, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian masalah yang paling disorot dalam perbandingan ini yaitu “status sosial”.
Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Jadi, dapat disimpulkan Status sosial itu Sebuah posisi dalam hubungan sosial, karakteristik yang menempatkan individu dalam hubungannya dengan orang lain dan seberapa besar peran individu tersebut dalam masyarakat itu sendiri.
Status sosial dapat terbentuk melalui beberapa hal diantaranya melalui peran individu tersebut, kekayaan, kekuasaan dan lain- lain. Status sosial akan terbentuk seiring dengan berjalannya waktu, dan hal itu akan dibarengi dengan perubahan kondisi sosial dalam masyarakat tersebut.
Disini perbedaan status sosial dalam novel azab dan sengsara karya merari siregar penyebabnya kisah cinta mereka “aminuddin dan mariamin” tak sampai karena harkat martabat keluarga yaitu dari keluarga aminuddin terpandang harkatnya tinggi sebagai orang yang berada pada daerah sipirok (medan) sedangkan keluarga mariamin harkatnya dipandang rendah karena keluarga yang dulunya kaya akan tetapi jatuh miskin akibat kelakuan dari ayah mariamin yang suka berjudi sewaktu masih hidup (sultan baringin).
Kemudian pada cerita rakyat ada pula tentang kisah percintaan tak sampai akibat perbedaan status sosial yaitu cerita rakyat dari jambi yang berjudul putri rainun dan raja mudo, mereka berdua (rajo mudo dan putri rainun) saling mencintai akan tetapi status sosial menjadi penghalang hubungan mereka yaitu putri rainun keturunan bangsawan sedangkan rajo mudo dari kalangan rakyat biasa. Menurut adat pernikahan jambi dalam cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo di jambi Masyarakat jambi yang mengambil garis keturunan Matrilineal. Matrilineal adalah mengambil garis keturunan perempuan/ibu/istri. Oleh karena itu, dalam legenda Putri Rainun dan Rajo Mudo, terdapat perbedaan status sosial antara kaum bangsawan dan rakyat biasa. Akan tetapi, karena mangambil garis keturunan secara Matrilineal (pihak Putri Rainun), sebenarnya yang lebih diutamakan adalah menikah dengan sesama kaum bangsawan agar tetap terjaga dan tetap ada jarak antara kaum bangsawan dan rakyat biasa. lain halnya dengan cerita dari novel azab dan sengsara karya merari siregar yang adat perkawinan di daerah sipirok menggunakan struktur kekeluargaan patrilineal sehingga dalam hubungannya dengan perkawinan bersifat patrilokal (di tentukan menurut garis ayah) Artinya marga pihak laki-laki yang sudah berkeluarga akan diturunkan kepada anak, baik laki-laki (banyo) maupun anak perempuan (boru) ,dan pasangan yang baru kawin bertempat tinggal di rumah pihak mempelai laki-laki. Yang secara sistem pembagian warisannya di daerah sipirok dalam novel azab dan sengsara, warisan diturunkan kepada anak laki-laki yang lahir dari perkawinan.
Baginda diatas (ayah aminuddin) dapat dikatakan seorang yang kaya di sipirok. Harta-hartanya amat banyak. Adapun kekayaan diperoleh dari peninggala orang tuanya. (hal.25)
Akan tetapi, Cerita legenda rakyat Jambi “Putri Rainun dan Rajo Mudo” menunjukkan bahwa pada cerita tersebut tidak dipermasalahkan harus dari keturunan bangsawan lah yang boleh melamar putri seorang keturunan bangsawan. Asalkan kaya, pandai, dan cerdas, seorang pemuda tersebut dapat menikah dengan wanita keturunan bangsawan. Rakyat biasa tidak dapat menikah dengan bangsawan, asalkan rakyat biasa tersebut bisa berusaha untuk menjadi orang kaya, pandai dan cerdas walaupun tidak ada keturunan bangsawan. Seperti dalam cerita rakyat ini pada rajo mudo adalah sosok pria yang cerdas dan mau merantau untuk mengubah nasib. Lalu pada akhir ceritanya rajo mudo menikah dengan  putri rainun walaupun pada saat ia pulang merantau mendengar berita yang tidak ia inginkan mengenai pernikahan antara putri rainun dan  biji kayo, akan tetapi cinta tidak bisa dipaksakan. Pada akhirnya ibu dari putri rainun tidak dapat menghalangi cinta mereka walaupun status sosial mereka berbeda.
Cerita rakyat jambi ini berakhir bahagia, walaupun pada awalnya cinta mereka terhalangi oleh status sosial akan tetapi berbeda halnya dengan cerita novel azab dan sengsara yang berakhir tragis akibat cinta mereka berdua (mariamin dan aminuddin) tidak dapat dipersatukan akibat perjodohan.
Cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo dalam strata sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-­istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang "kabur" untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kam­pung dsb. Sedangkan, dalam novel azab dan sengsara dalam strata sosial masyarakat sipirok tapanuli selatan, marga adalah unsur penting dalam mengatur dan menjalankan adat-istiadat, khususnya dalam perkawinan.
Adapun masing-masing orang batak mempunyai suku (marga). Seorang anak yang baru lahir beroleh marga bapaknya. Marga itu ada bermacam-macam, misalnya luhan sipirok, siregar dan harahap yang terbanyak, marga-marga lain ada umpamanya: pane, pohan, sibuan (hisbuan) dan lain-lain (hal.125)
Oleh karena marga sangat penting dan kedudukannya dalam masyarakat batak angkola, maka untuk mencari calon istri atau calon suami harus ditanyakan terlebih dulu apa marganya, boru apa dia. Karena perkawinan semarga dianggap melanggar adat.
Jadi dalam hal ini dalam cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo yang awalnya cinta mereka tak sampai akan tetapi pada akhirnya sampai karena menurut adat jambi, masyarakat jambi tidak terlalu mempunyai konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial, dia pun memandang derajat orang yang pandai walaupun orang tersebut bukan keturunan bangsawan, dan rajo mudo ini pada cerita rakyat jambi dipandang orang yang pandai dan bijaksana, makanya pada akhir cerita tersebut putri rainun diperbolehkan untuk menikah.
Sedangkan dalam novel azab dan sengsara dalam adat batak angkola sangat memandang kedudukan marga, yang pada dasarnya dalam cerita ini lebih menekankan ke strata sosial keluarga orang kaya harus di jodohkan dengan yang sederajat (aminuddin di jodohkan dengan wanita lain yang lebih terpandang keluarganya dibandingkan keluarga dari mariamin).
Dalam novel azab dan sengsara karya merari siregar dalam menjalankan adat istiadat kedudukan marga sebagai unsur yang amat penting khususnya dalam perkawinan.
Perkawinan secara paksa yang terjadi pada tokoh aminuddin dan mariamin, bukan karena se-marga tidak dibenarkan, hubungan yang telah dibina antara aminuddin dan mariamin dibolehkan dalam adat istiadat masyarakat batak angkola, akan tetapi pandangan orang tua yang mempertahankan sistem perkawinan paksa yang masih memandang perbedaan status sosial.
Dalam masyarakat batak angola, baik pemuda maupun pemudi tidak berhak mencari siapa yang menjadi pendamping hidupnya, dan tidak berhak pula menentukan siapa pasangan hidupnya. Orang yang berhak dalam menentukan siapa yang menjadi pasangan hidupnya adalah orang tua.  Hal ini dialami oleh aminuddin sebagai tokoh utama dalam novel azab dan sengsara karya merari siregar, tidak dapat menentukan pilihannya namun harus menuruti kehendak orang tua. Perasaannya terpaksa dijodohkan dengan orang yang tidak dicintainya.
Kutipan yang berkaitan dengan novel azab dan sengsara :
Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itupun harapan Bapak dan Ibumu serta sekalian kaum-kaum kita anakku akan menurut permintaan kami itu, yakni anak anda terimalah menantu ayahanda yang kubawa ini? Meskipun aminuddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan orang tua semua. (hal.36)
Sistem perkawinan yang ditentukan oleh orang tua tokoh yang membuat cinta tak sampai antara aminuddin dan mariamin karena perkawinan yang masih menggunakan sistem perjodohan didaerah tersebut, akan tetapi bukan karena adat istiadat yang menghalangi seperti aturan marga yang tak boleh menikah yang sama marganya antara pihak lelaki maupun perempuan, seperti yang diketahui marga aminuddin adalah siregar (bayo regar, dalam bahasa batak angola diistilahkan (bayo enggan). akan tetapi dinovel azab dan sengsara ini perkawinan yang menggunakan sistem perjodohan dengan status derajat yang sama (kekayaan) yang membuat perbedaan status sosial diantara aminuddin dan mariamin.
Sistem perkawinan yang ditentukan oleh orang tua digambarkan dalam  novel azab dan sengsara bukan hanya dialami oleh aminuddin tetapi juga dialami mariamin. Mariamin dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak dicintainya. Dalam novel azab dan sengsara karya merari siregar digambarkan kedatangan seorang pemuda sebagai calon pendamping hidup yang sebenarnya tidak ia sukai. Oleh karena adat yang berlaku dan kepatuan terhadap orang tua, ia pun rela menerima seorang pemuda yang datang dari padang sidempuan yang sama sekali tidak dikenal, dan tidak dicintainya, dan harus menjadi jodoh baginya.
Sistem perkawinan dengan cara paksa yang harus berdasarkan kehendak orang tua, sebenarnya dapat menjadikan perkawinan itu tidak bahagia dan berakibat buruk pada manusia. Selain itu, bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan apalagi kaidah-kaidah agama khusunya agama islam yang mayoritasnya didaerag tersebut. Oleh karena itu, kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat daerah tersebut harus dihilangkan, pemikiran terhadap upaya menghilangkan sistem perkawinan atas dasar kehendak para orang tua itu digambarkan dalam novel azab dan sengsara karya merari siregar  tentang keresahannya penulis mengenai daerah dimana yang dia tempati yang masih menggunakan sistem kawin paksa atau perjodohan.
Secara tersirat mengamanatkan kepada pembaca bahwa dalam novel nazab dan sengsara ada upaya menentang sistem perkawinan dengan cara paksa. Perkawinan dengan cara paksa akan mengakibatkan perceraian dan bahkan akan terjadi penyesalan seumur hidup terutama terhadap orang tua, hal ini dialami mariamin dijodohkan dengan orang yang tidak disukainya.
Hal ini juga serupa dengan cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo dari jambi yang mengisahkan perkawinan paksa (perjodohan) antara putri rainun dan  biji kayo atas permintaan kedua orang tuanya yang memintanya untuk menikah karena sama-sama status derajatnya sama, akan tetapi putri rainun merasa terpaksa, dan tidak bahagia apalagi setelah rajo mudo mengetahui perkawinan putri rainun, dia sangat kecewa begitupun putri rainun merasa terpukul akibat kejadian ini, pada akhirnya putri rainun memilih jalan bunuh diri akibat menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
Perlakuan kawin paksa yang dialami aminuddin dengan orang yang tidak dicintainya juga disebabkan sikap ayahnya, baginda diatas, sementara kawin paksa yang dialami mariamin disebabkan tekanan ekonomi keluarga, ia dikawinkan dengan kasibun seorang pegawai perkebunan yang sedang bertugas di medan. Jadi, baik yang disebabkan oleh ketidaksetujuan pihak orang tua terhadap orang tertentu yang disebabkan perbedaan status sosial diantara kedua pihak maupun yang disebabkan oleh tekanan ekonomi, sebenarnya perkawinan dengan cara paksa merupakan yang tidak baik dalam pandangan kemanusiaan dan prinsip-prinsip keagamaan.
Mengenai kawin paksa akibat tidak direstui orang tua yang beralasan perbedaan status soaial dialami aminuddin dan mariamin sudah lama menjadi kebiasaan masyarakat batak angkola. Dalam novel azab dan sengsara digambarkan juga bahwa orang tua mariamin, nuria juga secara paksa dikawinkan dengan sutan baringin, orang yang sama sekali tidak dicintainya. (hal.69). jadi, tradisi tersebut sudah turun-menurun sejak dari nenek, ibu hingga anak.
Kebiasaan kawin paksa dalam masyarakat batak angkola disebabkan peranan orang tua yang banyak memiliki pertimbangan terhadap calon menantu, seperti tokoh baginda diatas yang mempertimbangkan mariamin sebagai calon menantu, karena miskin. Jika dicermati, yang menjadi penyebab timbulnya sikap seperti ini adalah pengaruh pola pikir yang datang dari barat (belanda) yang memandang semuanya berdasarkan materi, karena pada zaman itu indonesia masih dalam jajahan belanda. Pada mula orang tua dalam masyarakat batak angkola tidak pernah memiliki sikap demikian, kalaupun ada kebiasaan kawin paksa, biasanya berdasarkan calon menantu yang memiliki kepribadian baik. Tanpa alasan itu, sebenarnya tidak ada alasan lainnya. Hal inilah yang secara tegas digambarkan dalam novel azab dan sengsara, nuria menyetujui aminuddin sebagai calon pendamping hidup mariamin karena sejak kecil ia mengetahui perangai aminuddin dan ia golongan anak yang baik-baik.
Jadi dalam novel azab dan sengsara mengenai adat perkawinan masyarakat sipirok tapanuli selatan sistem perjodohan dalam perkawinan masih sangat kental dan ada pula hubungannya perjodohan tersebut dengan kedudukan sosial calon menantunya seperti tokoh baginda diatas yang menjodohkan aminuddin dengan wanita yang status sosialnya sama.
Begitupun juga terjadi dengan warga jambi dalam cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo, pada saat itu masih ada perbedaan antara kaum bangsawan dan kaum rakyat biasa yang sebenarnya tidak diperbolehkan menikah, disinilah yang menekankan perbedaan status sosial, setelah kisah itu terjadi lalu muncullah cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo yang diceritakan dari mulut ke mulut warga masyarakat jambi sebagai suatu nasihat-nasihat yang dipakai dalam kehidupan, cerita rakyat ini bersifat anonim karena tidak ada nama pengarang atat penulisnya hanya diceritakan saja pada warga sekitar jambi. Dalam  adat perkawinan warga jambi perjodohan itu diusahakan bagi anak kemenakan yang terdekat. Walaupun demikian, kalau salah seorang tidak setuju, mungkin sudah ada pilihan sendiri maka orang tua tidak dapat menolak. Kalau dipaksa juga mungkin buruk akibatnya. Akan tetapi, jarang terjadi hal yang demikian, pada umumnya anak-anak menurut kata orang tuanya. Ini terjadi dalam cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo, putri rainun dijodohkan dengan biji kayo atas permintaan orang tuanya, putri rainun akan tetapi tidak berani menolak permintaan orang tuanya walaupun putri rainun tidak mencintai biji kayo mereka tetap menikah, dan ini berakibat buruk yaitu masalah batin putri rainun sehingga putri rainun memilih jalan untuk bunuh diri. Lalu ibu putri rainun baru menyadari kalau pernikahan yang dipaksakan akan menimbulkan kejadian yang tidak ia inginkan, lalu putri rainun berubah menjadi bunga ilalang. Lalu rajo mudo membawa bunga ilalang tersebut kepada nenek rubiah untuk merubahnya kembali kesosok putri rainun. Akhirnya, ibunda putri rainun mengizinkan putri rainun dan rajo mudo menikah. Inilah nasihat-nasihat cerita rakyat yang dulu muncul di jambi sehingga dapat diambil amanatnya bagi warga jambi mengenai perkawinan.
Dalam novel azab dan sengasara penulis mengkaitkan novel tersebut dengan kehidupan dirinya yang sebenarnya dialami di daerah medan sipirok yang pada zaman dahulu masih kental dengan perjodohan dan perbedaan status sosial yang terjadi dalam percintaan yang tidak direstui oleh orang tua.
Semasa kecil, Merari Siregar berada di Sipirok, dia dilahirkan di Tapanuli tepatnya daerah yang dia tempati yaitu di sipirok, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896 . OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwa Merari Siregar sangat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Ia menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, misalnya, kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Setelah dewasa dan menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan suku bangsanya yang mempunyai pola berpikir yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Hati kecilnya ingin mengubah sikap orang-orang yang berpandangan kurang baik khususnya orang-orang di daerah Sipirok. Oleh sebab itu, ia mulai bergerak untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk sipirok.
Seperti kutipan pembicaraan merari siregar saat dalam membuat novel ini :
Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah­tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang.
-Merari Siregar-

Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena azab dan sengsara menjadi karya tulisnya yang paling tersohor yang terbit pada tahun 1920. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yaitu yang sering disebut politik balas budi yang ditandai dengan berdirinya commisse voor volklectuur (komisi untuk bacaan rakyat) di tahun 1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan seperti terjemahan, karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair dan pantun.
Pada masa ini pula berkembangnya cerita-cerita rakyat, seperti salah satu contohnya cerita rakyat dari jambi “putri rainun dan rajo mudo”, pada tahun ini sedang banyak masalah yang terjadi di daerah mengenai kawin paksa akibat perbedaan status sosial diantara mereka.
Seiring berjalannya waktu, prosa indonesia mulai berkembang menjadi lebih modern karena semakin banyaknya pengarang yang ‘bergaul’ dengan karya sastra barat, terutama belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Pemoderenan semakin meningkat ketika Commissie Voor de Volkslectuur diganti namanya menjadi Balai Pustaka.
Penggantian nama itu disertai penambahan tugas bagi para pengarang, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru. Pemodernan ini antara lain, mampu mendorong kesadaran individu para pengarang. Kesadaran individu ini tercermin pada kemandirian tokoh-tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa ketergantungan pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian tokoh ini tercermin dalam Azab dan Sengsara, seperti yang tampak pada tokoh utama Mariamin. Kesadaran tokoh utama Mariamin terlihat ketika ia memotong penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan Mariamin ini diharapkan Merari Siregar agar menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa. Di atas telah dikatakan bahwa ikatan adat tokoh Mariamin mulai menipis. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Di dalam novel azab dan sengsara karya merari siregar tokoh aminuddin diceritakan sebagai seorang pria yang baik, perhatian, luhur budi pekertinya, gigih dalam bekerja sampai dia pergi ke deli untuk mencari pekerjaan dan penurut ketika aminuddin ingin dijodohkan dengan wanita lain atas permintaan kedua orang tuanya dia berusaha menerima walaupun sulit karena penulis menuliskan keadaan sebenarnya pada zaman di daerahnya masalah perjodohan yang masih diterima oleh masyarakat sipirok. Merari siregar menceritakan pula tokoh baginda diatas (ayah aminuddin) seorang pria bangsawan yang disegani dalam novel tersebut dia menjodohkan anaknya karena wanita yang dicintai oleh anaknya (aminuddin) tidak sesuai dengan keadaan status keluarganya yang kaya.
Secara keseluruhan Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. yakni menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga sangat kuat diwarnai penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain, tercermin dalam penggunaan pantun dan syair maupun kata-kata yang indah. Seperti :
 “hujan rintik-rintik itu sudah bertukar dengan hujan yang amat lebat, sehingga sebagai air dicurahkan dari langit rupanya. Angin yang keras itu makin kencang dan kilatpun berturut-turut diiringi halilintar yang gemuruh, sebagai gunung runtuh lakunya”.  (Hlm. 12)
Dalam kehidupan Pengarang pernah bersekolah di Kweekschool ‘sekolah guru’ dan sekolah guru Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun 1923 Merari Siregar bersekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh vereeniging tot van Oost en West, yang pada masa itu merupakan organisasi yang aktif memperakiekkan politik etis Belanda.
Setelah lulus dan sekolah, Merari Siregar mula-mula bekerja sebagai guru bantu di Medan kemudian pindah bekerja di Jakarta, yakni di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) . Terakhir Ia pindah di Kalianget, Madura, dan bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya pada tanggal 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
Roman Azab dan Sengsara karya Marari Siregar dianggap sebagai pemula dalam kehidupan prosa Indonesia Modern seperti yang telah dipaparkan diatas. Roman yang diterbitkan pada tahun 1920 ini merupakan roman ash yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku ini mencerminkan permulaan kesusastraan prosa Indonesia modern, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Di samping itu, Azab dan Sengsara ini adalah peniup terompet pertama yang menyuarakan pertentangan kaum muda masa itu dengan adat istiadat lama.
Dan cerita rakyat putri rainun dan rajo mudo menjadi cerita berisi nasihat masyarakat warga jambi mengenai perkawinan pada masa itu.
Azab dan sengsara dengan putri rainun dan rajo mudo alurnya disusun secara konvensional, peristiwa disusun sedemikian rupa sehingga mencapai klimaks pada akhir cerita. Urutan peristiwa disusun berurutan dari peristiwa satu ke peristiwa lainnya.
Perbandingan peristiwa azab dan sengsara dengan putri rainun dan rajo mudo
Peristiwa azab dan sengsara :
1.      Aminnudin berjanji untuk menikahi mariamin
2.      Aminuddin pergi ke deli untuk mencari pekerjaan
3.      Aminuddin didesak oleh orang tuanya untuk menikah dengan gadis siregar
4.      Aminuddin pulang dari deli
5.      Aminuddin menikah dengan wanita yang lain yang menjemputnya dari deli
6.      Kekecewaan mariamin
7.      Mariamin menerima lamaran kasibunatas desakan ibunya
8.      Pertengkaran rumah tangga mariamin
9.      Mariamin bercerai
10.  Mariamin kembali ke kampung halaman ke sipirok, tinggal disana sampai dia meninggal.
Peristiwa putri rainun dan rajo mudo:
1.      Putri rainun dan rajo mudo sepasang kekasih
2.      Rajo mudo merantau
3.      Biji kayo jatuh cinta kepada putri rainun
4.      Putri rainun didesak oleh ibunya untuk menikah dengan biji kayo
5.      Putri rainun menikah dengan biji kayo
6.      Rajo mudo kembali pulang tetapi kecewa
7.      Putri rainun bunuh diri
8.      Rajo mudo ke pemakaman putri rainun mengejar bunga ilalang
9.      Pergi ke rumah nenek rubiah sambil membawa Kelopak bunga ilalang lalu muncul sosok putri rainun
10.  Putri rainun dan rajo mudo menikah
Perbandingan peristiwa di atas berkaitan dengan warna lokal kudua karya ini seperti peristiwa sepasang kekasih yang jatuh cinta, merantau, dijodohkan.
Dari kedua daerah ini masing-masing adat perkawinan pada zaman dahulu masing-masing masih mempergunakan sistem perkawinan paksa yang dikarenakan perjodohan orang tua dan tidak ada yang berani melawan kehendak pada zaman itu, akan tetapi silih bergantinya zaman menjadi modern aturan ini sudah jarang dilakukan. Dalam novel dan cerita rakyat tersebut seiring sedang perjodohan di daerah masyarakat sekitar maka penulis menganggat tema tersebut agar dapat di ambil amatnya bagi yang membaca, bahwa kawin paksa tidak baik karena akan ada pihak yang terluka dan sesuatu yang tidak di inginkan akan terjadi yang membuat kehidupan tersebut bermasalah.

Penutup
Setelah membandingkan kedua cerita yaitu novel indonesia yang menggunakan seting sipirok, tapanuli selatan yaitu sebuah karya dari merari siregar yang berjudul azab dan sengsara, dengan sebuah cerita rakyat dari jambi yang bertemakan perkawinan paksa yang dikarenakan status sosial, Secara keseluruhan dalam kedua artikel diatas, perbedaan status sosial merupakan hal yang paling penting untuk menjaga keturunan dalam suatu keluarga. Di indonesia dalam sistem perkawinan dapat ditarik kesimpulan dari daerah-daerah khususnya daerah sipirok tapanuli selatan dengan jambi, pada zaman dahulu masih diberlakukan sistem perjodohan, namun sekarang telah mengalami perubahan zaman modern, sudah jarang yang menggunakan sistem perjodohan dalam suatu percintaan.

 Namun, dalam kedua kisah ini telah dituliskan mengenai perkawinan paksa karena perbedaan status sosial itu tidak baik, akan berdampak buruk bagi pihak yang menjalaninya sehingga hal-hal yang tidak di inginkan akan terjadi. Pada dasarnya memang benar kalau cinta tidak bisa dipaksakan, apalagi di jodohkan dengan orang yang tidak di cintai itu suatu hal yang mustahil dalam menjalani hubungan perkawinan yang bahagia.

estetika karya sastra lama dan modern

ESAI
ESTETIKA KARYA SASTRA INDONESIA LAMA DENGAN KARYA SASTRA INDONESIA MODERN
Oleh: Syafrida
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang sangat kecil telah berkembang menjadi bahasa Indenesia yang besar. Sehingga karya sastra pun berkembang pula, berawal dari karya sastra indonesia lama dan muncul adanya karya sastra modern yang berkembang hingga saat ini.  Keduanya masing-masing mempunyai nilai estetika yang menjadi khas dari gaya pengucapan maupun gaya penyampaiannya sesuai pada karya sastra tersebut.
Sastra lama masuk ke indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke-13, Sastra lama adalah sastra yang berbentuk lisan atau sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan.  Sastra  pada masa lalu menjadi hiburan utama yang sangat digemari oleh masyarakat. Pada saat itu, sastra digunakan untuk berbagai keperluan, baik itu pendidikan, penulisan sejarah, maupun penyebaran ajaran. Karya sastra lama mempunyai ciri khas di antaranya karya sastra lama bersifat anonim (tidak ada pengarangnya) karena pada zaman ini karya sastra lama cara penyampaiannya secara lisan dari mulut ke mulut masyarakat. Selain itu karya sastra lama bersifat istana sentris, maksud istana sentris di sini masih terikat pada kehidupan istana kerajaan, karangan berbentuk masih tradisional seperti prosa lama yakni hikayat, dongeng, mitos, fabel, dan legenda. Proses perkembangannya masih statis sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat sehingga karangan ini jika dibandingkan dengan karya sastra modern sudah tertinggal dan gaya pengucapannya menggunakan bahasa klise yang mempunyai nilai estetika yang indah dan masih terikat walaupun bahasa tersebut sulit dimengerti justru inilah yang menjadi ciri khas nilai estetika bahasa dalam karya sastra lama seperti puisi lama di antaranya mantra, syair, karmina, pantun, talibun dan gurindam.
Karya sastra lama dalam puisi lama puisi yang terbentuk awal mungkin adalah mantra yang hanya digunakan pada ritual tertentu atau keperluan lain yang bersifat mistis. Mantra mempunyai nilai estetika dalam gaya pengucapan karena mantra lebih menekankan penekanan bunyi yang berulang-ulang, mirip dengan fungsi asonansi dan rima. Mantra tak memedulikan makna atau isi yang dikandungnya karena diyakini pengulangan bunyi tertentu menciptakan sugesti yang berpengaruh secara psikologis.
Nilai estetika pada karya sastra lama seperti puisi lama selain mantra, yang mempunyai estetika dalam pengucapan pula yakni syair, harus berima sama yaitu a-a-a-a. Sedangkan pantun gaya pengucapan estetikanya menggunakan rima a-b-a-b, setiap bait terdiri atas sampiran dan isi, dan setiap lariknya terdiri atas 8-12 suku kata.  Karmina, Pantun kilat terdiri atas 2 baris/ Pantun dua seuntai (pantun kilat) baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi berupa sindiran dengan rima a-a. Talibun pantun yang terdiri dari 4 baris (selalu genap), bentuk puisi lama dalam kesusastraan Indonesia (Melayu) yang jumlah barisnya lebih dari empat, biasanya sampai 16-20,  serta punya persamaan bunyi pada akhir baris (ada juga yang seperti pantun dengan jumlah baris genap seperti 6, 8, 12), Talibun sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi lebih dari 4 baris ( mulai dari 6 baris hingga 20 baris). Berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde. Gurindam jumlah baris pada setiap baitnya hanya memiliki dua baris.
Hal-hal inilah yang menjadikan karya sastra lama dalam puisi lama yang menarik dan memiliki estetika pada strukturnya.
            Sastra mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia. Sejak manusia menemukan bahasa, mereka terus menggembangkan kemampuan berbahasanya hingga menciptakan sastra yang lebih dapat mengekspresikan perasaan manusia maka kemajuan ini karya sastra mulai berkembang menjadi modern.
Sastra baru adalah karya sastra yang telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi.  Yang termasuk salah satu karya sastra modern adalah Puisi modern memiliki estetika pada bahasanya yang bebas dan puitis, karena banyak menggunakan berbagai majas, serta pada strukturnya yang bebas pula, karena puisi tidak terikat dengan aturan yang berarti. Penyusunan larik demi larik seolah acak. Seperti halnya puisi Sutardji membuat sebuah puisi secara tidak berstruktur, dan puisi tersebut dikenal dengan puisi Mbeling. Begitu pula dengan puisi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada karya puisinya yang berjudul Nikmat Hidup yang dimuat dalam Kumpulan Puisi Tebaran Mega. Pada karya puisi Nikmat Hidup, STA menuliskan bait puisinya sebanyak empat bait. Pada bait pertama berisi empat larik, pada bait kedua berisi empat larik, pada bait ketiga berisi tiga larik, dan pada bait keempat berisi tiga larik. Hal ini merupakan salah satu dari estetika pada sebuah puisi dan menandakan bahwa karya sastra Indonesia baru atau modern terpaut dengan kebebasan teknik penulisannya.
Estetika pada puisi tidak hanya itu saja, melainkan estetika pada puisi dapat lebih terlihat jika dibacakan dengan baik dengan intonasi dan artikulasi yang baik, dengan irama yang turun naik, keras lembut, dan panjang pendek, serta dengan mimik yang baik pula yang sesuai dengan puisi yang dibacakan. Selain itu puisi dibuat berdasarkan dunia nyata. Hal inilah yang dapat menambah nilai estetika pada sebuah puisi.
Dengan bahasa yang puitis yang digunakan pada puisi, telah membawa keindahan bagi pembaca dan pendengarnya. Dengan bahasa yang begitu puitis, puisi dapat membawa pembaca dan pendengar ke dalam dunia khayal. Selain bahasa yang puitis dan bermajas, puisi juga menampilkan bahasa-bahasa yang segar, sehingga puisi menjadi semakin indah.
Selain itu, puisi juga dapat dibuat menjadi sebuah lagu, salah satu puisi yang dibuat menjadi sebuah lagu ialah puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono. Dan hal inilah yang juga menjadi estetika pada sebuah karya puisi karena dengan puisi dimusikalisasikan dapat lebih terasa keindahan makna yang ada pada sebuah puisi.

 Bila dulu puisi begitu terikat dengan bentuk, sekarang ini puisi telah menemukan kebebasannya dan tak memiliki aturan yang terlalu baku. Beberapa puisi, bahkan ada yang memakai bentuk prosa, seperti yang di tunjukkan dalam sajak karya Sapardi Djoko Damono dan Yudhistira ANM massardi, ini termasuk juga salah satu estetika karya sastra modern.

Senin, 02 Maret 2015

Analisis Kajian Objektif dan Kajian "Keterbelakangan Tradisi" dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dunia kesastraan mengenal novel sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Banyak novel yang dituliskan pengarang sebagai salah satu wujud untuk menuangkan inspirasinya berupa dari sejarah, pengalaman pribadi, maupun pengalaman orang lain ke dalam karya-karya yang ditulisnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel ketiga yang ditulis oleh Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun 1982. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk selain kisahnya berisikan dunia ronggeng di dukuh paruk, novel ini juga dapat dijadikan sebuah dokumentasi sosial pada masa pergolakan politik di Indonesia, bahkan hingga kini masih banyak rakyat yang sengsara. Karya sastra yang mengisahkan perubahan sosial-politik pada kurun waktu sekitar 1965 tentang terjadinya geger politik yang melibatkan banyak korban, baik korban politik maupun korban kemanusiaan sehingga banyak karya sastra yang mengusung tema mengenai masyarakat kecil yang tertindas oleh kesewenang-wenangan para penguasa. Ahmad Tohari mencoba mendeskripsikannya lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil sebagai tokoh utama pada novel merupakan perempuan yang berperawakan cantik dan menarik, digambarkan sebagai perempuan yang sempurna fisiknya. Penulis tertarik untuk mengkaji tentang keterbelakangan tradisi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karena kurang menyetujui tentang nilai norma kehidupan Islam yang dituangkan Ahmad Tohari.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang dapat dianalisis sebagai berikut:
1.      Bagaimana analisis objektif  novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2.      Bagaimana keterbelakangan tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk?


C.    Tujuan
Analisis melalui pendekatan objektif dalam karya novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari bertujuan untuk:
1.      Untuk mengetahui objektif  novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2.      Untuk mengetahui keterbelakangan tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk.

D.    Tinjauan Pustaka
Ronggeng Dukuh Paruk pernah dikaji dalam skripsi Farihah Wachdin pada tahun 2012, NPM 0843010154, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN”. Judul yang dikaji adalah Representasi Diskriminasi Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Studi Semiologi tentang Representasi Diskriminasi Perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana representasi diskriminasi perempuan melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis semiologi Roland Barthes. Subjek penelitian adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk dan objek penelitian adalah teks yang mempresentasikan “diskriminasi perempuan”. Korpusnya adalah semua teks yang mempresentasikan diskriminasi perempuan. Landasan teori yang digunakan adalah novel, diskriminasi, representasi, semiologi Roland Barthes memaknai leksia-leksia yang dapat mempresentasikan diskriminasi perempuan pada teks novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Dalam penyajian data dan hasil analisis data, peneliti memilah-milah 5 kode pembacaan dalam leksia yang telah ditentukan yaitu : kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomik. Setelah melalui kode pembacaan Barthes tersebut ditemukan makna representasi diskriminasi dalam bentuk pembatasan, pelecehan, pengucilan terhadap manusia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat 22 leksia yang mempresentasikan diskriminasi perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Kata kunci:Representasi,Semiologi,Diskriminasi,Novel,Ronggeng Dukuh Paruk.[1]
Penelitian mengenai eksistensi Ahmad Tohari pernah dilakukan oleh Ali Imron dari Pendidikan Linguistik Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret pada tahun 2006, yang berjudul “Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh paruk”.
Kesimpulan skripsi ini yaitu: (1). Mencermati kekuatan dan keunikan dan kekhasan karya-karyanya maka eksistensinya sebagai sastrawan dapat disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka negeri ini. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Paruk yang memiliki kontribusi penting dalam jagat sastra Indonesia. (2). Figur tokoh Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai cerminan dari Ahmad Tohari, (3). Tohari mampu mengungkapkan masalah-masalah kemanusiaan yang kompleks yang ditunjang dengan keberaniannya melakukan bid’ah budaya, tanpa terjebak dalam khutbah yang sloganistis[2]


BAB II
Keterbelakangan Tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari

A.    Biografi Pengarang
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948. Ia menempuh pendidikan formalnya hanya mencapai SMAN di SMAN II Purwokerto. Akan tetapi, ia pernah menjelajahi pengalaman pendidikan di beberapa fakultas, seperti fakultas ekonomi, sosial politik, dan kedokteran di salah satu universitas yang berada di Jakarta dan Purwokerto walaupun semuanya tidak berhasil diselesaikannya. Dalam dunia jurnalistik ia pernah menjadi redaktur pada harian merdeka sejak tahun 1979 hingga 1981, dilanjutkan dengan menjadi staf redaksi hingga 1986, dan setelah itu menjadi dewan redaksi pada majalah amanah hingga 1993. Selain itu, ia pun menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis yang aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Di desa Tinggarjaya, Ahmad Tohari merawat sebuah pesantren bersama istrinya, Syamsiah yang bekerja menjadi guru sekolah dasar. Mereka menghidupi ketiga anaknya dengan pendidikan yang tinggi. Hampir semua karya Ahmad Tohari terilhami oleh kisah nyata yang menggambarkan lingkungan di sekitarnya, kemudian ia tuangkan dalam bentuk karya sastra yang dilengkapi dengan manipulasi dan imajinasi tertentu yang turut memberikan makna serta memperindah karya yang diciptakannya karena Ahmad Tohari yakin bahwa karya sastra merupakan bentuk lain dari berdakwah yang tujuannya untuk mencerahkan batin manusia dan sebagai sarana mengingatkan masyarakat agar semakin beradab.
Pada paruh kedua dekade 1970-an ketika cerpennya, Jasa-jasa Buat Sanwirya memenangkan hadiah dalam sayembara kincir emas radio nederland wereldomroep (1975), lalu menerima berbagai penghargaan dan melahirkan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang terdiri atas Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala, nama Ahmad Tohari semakin tekenal. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sering pula disebut-sebut oleh para kritikus sastra Indonesia sebagai karya agungnya karena karya itulah yang melambungkan nama Ahmad Tohari ke puncak popularitas sebagai sastrawan Indonesia sehingga nama Ahmad Tohari dalam jagat sastra Indonesia tidak dapat terlepas dari trilogi Rongeng Dukuh Paruk.[3]
Kalem dan bersahaja seperti kalimat-kalimat pendek dalam karya-karyanya adalah cermin dari Ahmad Toharin. Ia orang yang tidak munafik. Kendati dididik dalam lingkungan islam yang ketat, ayahnya seorang kiai. Ayah lima anak itu kenal betul kehidupan ronggeng yang bisa dikatakan menganut paham seks bebas.[4]

B.     Latar Belakang Lahirnya Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari. Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Alam pedesaan dengan masyarakat dan sejumlah masalahnya menjadi ciri khas cerita pada novel ini. Novel yang berkisar tahun 1965 dengan cerita yang serupa dengan . Suatu beban bathin yang berat, yang harus ditanggung oleh tokoh. Luka-luka peristiwa Oktober 1965 yang masih terasa perih. Ketika tahun 1965, usia Ahmad Tohari 16 tahun. Ia pernah melihat orang membunuh orang dengan sadar, ia termasuk idealistis dan peka.
Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menuliskan masyarakat jahiliyah nyaris secara ekstrem dengan kemaksiatannya, kecabulannya dan sumpah serapahnya. Ahmad Tohari menginginkan gambar kejahilan yang lengkap, bahkan aspek kemusyrikannya pun sengaja angkat lebih tinggi.

C.    Sinopsis
Cerita ini berawal dari suatu desa terpencil, Dukuh Paruk yang kering kerontang telah menampakan kehidupannya kembali ketika Srintilmenjadi ronggeng. Penduduk Dukuh Paruk yang merupakan keturunan Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka menganggap bahwa kehadiran Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan.
Srintil adalah potret anak dukuh paruk yang yatim-piatu akibat bencana tempe bongkrek. Enam belas penduduk meninggal karena memakan tempe yang terbuat dari ampas kelapa tersebut. Tak terkecuali juga kedua pembuat tempe itu, yaitu kedua orang tua Srintil. Setelah malapetaka itu terjadi, Srintil yang masih bayi kemudian dipelihara oleh kakek neneknya, Sakarya suami istri, sampai pada akhirnya mereka menyadari ternyata Srintil memiliki indang ronggeng sehinnga kakek Srintil menyerahkannya kepada dukun ronggeng yang bernama Kartareja. Sekejap Srintil telah menjadi primadona yang menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan jati dirinya.
Rasus yang sangat benci dan kecewa menerima kenyataan bahwa Srintil benar-benar menjelma menjadi seorang ronggeng. Sebab, Srintil adalah perempuan yang sangat dicintainya.Setelah Srintil benar-benar menjadi seorang ronggeng, Rasus kehilangan sosok emaknya dan berpikir bahwa Srintil bukan lagi miliknya sendiri, melainkan milik semua orang. Ia pun kemudian meninggalkan dukuh paruk dan bertempat tinggal di desa Dawuan. Rasus bertemu dengan kelompok tentara sehingga membuat Rasus tergabung menjadi serdadu.
Menjelang tahun 1965 mengubah sendi-sendi kehidupan Dukuh Paruk. Pedukuhan yang selama ini hanya mengenal suara calung dan tembang ronggeng itu mulai disusupi paham-paham dan lambang-lambang partai.Peristiwa G30S PKI meletus dan keadaan berbalik, PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek komunis karena seringnya mereka meramaikan kampanye politik partai itu. Dukuh Paruk kemudian hancur bersama kobaran api, pedukuhan itu menjadi tumbal kemarahanterhadap PKI.
Setelah dibebaskan dari penjara, Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Srintil berniat memperbaiki citra dirinya, meninggalkan dunia ronggeng, dan menata hidup sebagai perempuan yang tidak mau dimiliki oleh semua orang, ia ingin menjadi istri dari seorang lelaki dengan mengharapkan kehadiran Rasus. Letih menunggu Rasus, ternyata Bajus muncul dalam hidupnyadan sepercik harapan pun timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Srintil berharap Bajus menikahinya. Akan tetapi, harapan itu hancur ketika Bajus yang terkesan akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng yang boleh dimiliki oleh semua lelaki. Hancur leburlah hati Srintil tak kuat menahan penderitaan batinnya sampai kemudian Srintil menjadi gila yang pada akhirnya menyisakan luka di hati Rasus.

D.    Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
1.      Kajian Objektif (Unsur Instrinsik)
a.      Tema
Tema menurut staton dan kenny dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.[5]
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tema yang mendasari cerita adalah Tradisi Kehidupan Masyarakat Dukuh Paruk yang Mengalami Keterbelakangan.
Hal itu terlihat pada kutipan:
“Murka tidak kepalang yang mengusik Dukuh Paruk membuat ronggengnya tidak kehabisan semangat. Pada akhir bulan September 1965 itu Srintil sudah dua minggu manggung terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakkan budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget dan menciumi Srintil sepuas hati. Cuma-cuma. “ (RDP.237)

b.      Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama, ada jenis tokoh lain yang terpenting adalah tokoh lawan, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Tokoh yang fungsinya hanya melengkapi disebut tokoh bawahan.[6]
  

Motif
Seorang gadis yang mempunyai bakat menari dan disuruh menjadi ronggeng oleh kakeknya.
Tujuan
Ingin terlepas dari tekanan batin menjadi seorang ronggeng.

Tokoh Utama
Srintil





Ronggeng

Penghalang
Rasus
Bakar


Pendukung
Kartareja dan istri
Sakarya
Sakum
Bajus

·           Karakter Srintil
Digambarkan sebagai perempuan dengan keluguannya yang pada akhirnya harus menjadi korban otoriter atau geger komunis.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa Saudara Kartareja dan Saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan.Ini perintah atasan.Dan kami hanya melaksanakan tugas.”(RDP.241)

·           Karakter Rasus
Digambarkan sebagai tokoh yang berani, teguh pendiriannya.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tetapi yang aku temukan sebatang gagang pacul.Ketika perampok itu membelakangiku, aku maju dengan hati-hati.Pembunuhan kulakukan untuk pertama kali.”(RDP.101)

Digambarkan sebagai tokoh yang cinta kampung halamannya.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya” (RDP.107)

·           Karakter Kartareja dan istrinya
Memiliki karakter yang serakah yang tergiur dengan harta. Hal ini terdapat pada kutipan:
“Tetapi ringgit emas bisa masuk saku celana. Bagus, tidak kotor, dan aku tak kan disusahkannya dengan urusan kandang, rumput, serta bau busuk.” Ujar kartareja sambil membuang muka (RDP.70)

·           Karakter Sakarya
Seorang kakek yang menghormati tradisi leluhur atau nenek moyang.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada kartareja. Itu hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng” (RDP.17)

·           Karakter Sakum
Kakek buta yang pengertian dan peka.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Lho, sampean menangis?”
“Aku tidak menangis, Kang.Tidak.”
“Jangan bohong.Aku mendengar napas orang menangis. Percuma, Jenganten. Jangan menangis.” (RDP. 335)

·           Karakter Bajus
Seorang pemuda yang berasal dari Jakarta yang pura-pura baik, mempunyai penyakit impoten.
Hal ini terdapat pada kutipan:
“Memang laki-laki itu bukan dia yang paling banyak membuat catatan yang berkesan di hati.Dia bukan Rasus, melainkan Bajus.”(RDP. H. 369)
“Bajus yang kini impoten.kini tak ada pesona.”(RDP.386)

·         Bakar
Seorang yang berpura-pura baik atau munafik. Hal ini terdapat pada kutipan:
“Kemudian Bakar memang berhenti pada titik yang bersahaja.Di luar Dukuh Paruk, Bakar berpropaganda macam-macam yang pasti sulit dimengerti oleh orang Dukuh Paruk.Misalnya tentang perjuangan kaum tertindas untuk mendapatkan kembali hak-haknya.” (RDP.230) 

c.       Sudut Pandang
Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita akuan yang berada dalam cerita atau pencerita diaan yang berada di luar cerita.[7]
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah sudut pandang tokoh “aku” dalam sebuah cerita dapat mengacu dua pengertian. Ahmad Tohari menggunakan sudut pandang yaitu Pertama, sebagai pelaku yang secara langsung terlibat dalam cerita (“aku” pelaku/ Rasus); kedua sebagai pencerita yang berada di luar (“aku” pencerita).
Sudut pandang aku sebagai tokoh cerita (Rasus) terlihat pada kutipan
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula kita bisa kualat nanti,” jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku (RDP. H. 67)

Sedangkan sudut pandang aku sebagai pencerita berada di luar terlihat pada kutipan
“Rasus tersentak ke belakang. Pelupuh yang berderit membuat Sakum tersenyum dan menanti. Namun sama sekali rasus hanya mendesah dan mengeluh. ketika akhirnya Rasus membuka mulut kata-katanya sudah melompat jauh ke lain persoalan” (RDP. H. 356)

d.      Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang terjalin dalam suatu cerita. Alur sederhana terdiri dari perkenalan, awal konflik, konflik, klimaks, dan antiklimaks.[8]
Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah alur maju, karena peristiwa tersebut berjalan teratur dan berurutan sesuai dengan urutan waktu kejadian dari awal sampai akhir cerita.

                        AWAL-EKSPOSISI
Tahap Awal disebut juga tahap pengenalan. Dalam hal ini, tahap awal tergambar ketika memperkenalkan kondisi yang terjadi mengenai pedukuhan dukuh paruk melalui peristiwa tragis tempe bongkrek dan awal kisah tokoh Srintil yang akan menjadi seorang ronggeng dengan berbagai ritual yang dijalani. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Dalam haru-biru kepanikan kata-kata ‘wuru bongkrek’ mulai diteriakkan orang. Keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah mendengar teriakan demikian.”(RDP.25)
“Srintil sudah menjadi ronggeng di dukuhku.Usianya sebelas tahun.” (RDP.36)
“Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu diantaranya adalah upacara permandian yang secara turun temurun dilakukan di depan cungkup makan Ki Semacenggala.”(RDP.43)
“…syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh srintil bernama ‘bukak-klambu’. …bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan ronggeng”(RDP.51)

                        KONFLIK
1.      Rasus melihat sosok emaknya ada pada Srintil, tetapi Srintil ingin menjadi Ronggeng.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Aku percaya; hanya aku yang sejak anak-anak mengkhayalkan demikian dalamnya tentang seorang emak. ..akhirnya aku dapat mendatangkan ilusi; bahwa yang berdiri telanjang di depanku bukan Srintil, bukan pula ronggeng Dukuh Paruk, melainkan perempuan khayali yang melahirkan diriku sendiri.”(RDP.67)

2.      Srintil mengalami tekanan batin, dia ingin mempunyai anak akan tetapi telur rahimnya sudah diangkat oleh Nyai Kartareja.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“…bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya.”(RDP.90)

                        KOMPLIKASI-RUMITAN
1.      Srintil mencintai Rasus tetapi Rasus menolaknya karena Srintil seorang ronggeng.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali pada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberikan sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk: RONGGENG.(RDP.107)

2.      Rasus meninggalkan Srintil pergi.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
Sampai di tengah pesawahan aku menoleh ke belakang.Aku tersenyum sendiri, lalu bergegas meneruskan perjalanan. Dengan tangan memaggul bedil, rasanya aku gagah.” (RDP.107)

                        KLIMAKS
1.        Srintil tidak ingin menjadi ronggeng lagi. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“ketika sedang mandi kata-kata Sakum terus mengiang di telinga srintil; dia bukan lagi ronggeng. Duh, pangeran, alangkah enak didengar. Sekarang baru Sakum seorang yang mengatakan aku bukan ronggeng. Aku akan membuktikan diri sehingga nanti semua orang berkata seperti Sakum. (RDP.336)

2.        Rasus memilih untuk tetap melanjutkan pengabdian menjadi tentara.
       Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Anu, kang. Lusa aku akan berangkat tugas ke Kalimantan. Pokoknya aku tidak bisa apa-apa.”(RDP.356)

TURUNAN
1.      Rasus berpesan kepada Kartareja untuk menjaga Srintil. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Bila ada lelaki baik-baik yang berminat mengambil Srintil, maka bantulah keduanya. Tapi bila ada lelaki yang dating hanya untuk bermain-main, tolong katakan kepada Srintil sekarang dia tidak boleh berperilaku seperti dulu. Aku yang melarangnya, Kek.” (RDP.360)

2.      Srintil bahagia memiliki Goder. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Mula-mula Srintil hanya berbicara kepada Goder, memperkenalkan ini-itu kepadanya.Lalu ketawanya pecah ketika mendengar Goder minta dibelikan kuda penarik andong seperti yang baru dilihatnya.Tertawa lagi setelah Goder bartanya, apakah karung yang dibawa orang tadi tidak berisi kepala manusia.” (RDP.363)

PENYELESAIAN
1.      Srintil menjadi gila. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Srintil berjalan seperti tidak melihat apa pun meski kedua matanya terbuka lebar dan tidak berkedip. Bajus merasa seperti sedang menuntun orang setengah lumpuh dan buta.”(RDP.386)

2.      Rasus menyadari kesalahan dan membawa Srintil ke Rumah sakit jiwa.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Perjalanan dua jam dari Dukuh Paruk terasa amat menekan. Ketenangan yang meliputi hatiku hamper berakhir ketika becak berenti di gerbang rumah sakit tentara.” (RDP.402)
“Maaf, pasien itu calon istri sampean barangkali?’
“Ya!”
Bening.Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega. Lega.Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku telah ku robohkanhanya dengan sebuah kata yang begitu singkat.(RDP.402-403)

e.       Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi tokoh-tokoh yang ada pada cerita.[9]
TEMPAT
1.      Dukuh Paruk, Banyumas (Jawa Tengah). Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Siapapun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng.” (RDP.11)

2.      Pasar Dawuran. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Pasar Dawuan sedikit demi sedikit meregangkan hubunganku dengan Srintil.” (RDP.84)

3.      Pemakaman Secamanggela. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di pegunungan bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka.” (RDP.10)

WAKTU
1.      1946 peristiwa tempe bongkrek. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946.” (RDP.21)
“Kang, apa tidak kau dengar orang-orang mengatakan mereka keracunan tempe bongkrek? Bongkrek yang kita buat? Ini bagaimana, kang?”(RDP.25)

2.      1964 di tengah rapat umum
“tetapi pada tahun 1964 itu, ketika panceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas” (RDP.228)

3.      1964 kejayaan Srintil
“Bilapun ada tak seorangpun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964. Dukuh Paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng cantik berusia Sembilan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya.”(RDP.226)

4.      1965 pergolakan politik.
“pada tahun 1965 itu siapapun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.” (RDP.236)
“Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada dasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena.” (RDP.237)

5.      1969 dukuh paruk miskin
“Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan bodoh.” (RDP.238)
“Memasuki tahun 1970, kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan beruabh gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning dan buldoser dari berbagai jenis dan ukuran.” (RDP.361)

SUASANA
1.      Mencekam pada tahun 1965, Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu dan meski mereka tak bisa membaca, tetapi mereka telah mengerti sesuatu.”(RDP.235)

2.      Bahagia
“Banyak perempuan dan anak-anak memenuhi rumah Kartareja. Mereka ingin melihat Srintil dirias. Sepanjang usianya yang sebelas tahun, baru pertama kali Serintil menjadi perhatian orang. Dia tersipu.  Terkadang tertawa kecil bila dia mendengar orang berbisik memuji kecantikannya. (RDP.18)

3.      Sedih
“Sakarya menjatuhkan pundak dan mendesah. Sambil menggendong kedua tangan orang tertua di Dukuh Paruk berjalan berkeliling menatap reruntuhan cungkup makam.” (RDP.236)

4.      Marah
“Belum pernah sekalipun Dukuh Paruk merasa terhina demikian dalam. Dia muram dan diam menahan murka. Semua warganya memusatkan kebersamaan rasa, siap membayar kembali dengan tunai penghinaan yang mereka terima. Dan balas dendam itu hanya tertunda karena orang-orang Dukuh Paruk berlum menemukan nama-nama para penghina itu.” (RDP.236) 

f.       Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dimaksud adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang merupakan suatu sarana sastra yang amat penting.[10]
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari gaya bahasa yang digunakan bahasa sastra dengan pendeskripsian suasana yang mengkiaskan alam sekitar dengan bahasa yang indah.
Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Sepasang burung bangau melayang meniti angina, berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya.” (RDP.9)

Selain itu terdapat majas personifikasi yaitu pada kutipan:
“Pucuk-pucuk pohon di Pedukuhan sempit itu bergoyang.Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumput bamboo berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk.Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. (RDP.9)

Terdapat pula majas metafora dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu pada kutipan:
“Kecantikan yang tak ada refrensinya pada wajah patung Venus atau Dewi Aphrodite, melainkan pada wajah Pradnya Paramita.” (RDP.373)

Dalam novel ini juga menggunakan kosa kata Jawa (beberapa Dialeg Banyumas) dalam penyebutan lagu daerah, mantra-mantra, jenis binatang, tumbuh-tubuhan, dan paggilan kehormatan.
Lagu daerah Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat lagu kebanggaan para ronggeng yang sering dinyanyikan Srintil yang menggunkan bahasa Jawa. Hal ini terdapat dalam kutipan:
Sengkang ceplik, cunduk jungkat sarwi wungu
Pupur lelamatan
Nganggo rimong plangi kuning
Gandanira kaya sekar dhedhemplonan.(RDP.H. 196)
Mantra-mantra yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk:
Uluk-uluk perkutut perkutut manggung
Teka saka ngendi,
Teka saka tanah sabrang
Pakanmu apa,
Pakanku madu tawon
Manis madu tawon,
Ora manis kaya petuku, Srintl. (RDP.18)
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat bahasa panggilan kehormatan, yaitu Jenganten, wong ayu, wong kewes,cah bagus, kang, mbakyu
“sampaen harus beristirahat, jenganten.”(RDP.192)
Dalam novel ini juga terdapat kata-kata umpatanyang khas jawa yang digunakan oleh pengarang yaitu: bajul bunting, asu bunting, munyuk, cecunguk. Seperti dalam kutipan.
“Santayib engkau Anjing!Asu bunting lihat, bokor ini biru karena beracun.”(RDP.26)

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ditemukan juga bahasa Jawa yang digunakan pengarang terdapat kaitannya dengan dunia ronggeng, seperti indang, susuk, bukak klambu, calung, tayub. Hal ini terdapat dalam dalam kutipan:
“Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bias menjadi ronggeng kecuali roh Indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.” (RDP.13)
“Tetapi sebagian besar segera memadamkan keinginannya setelah mengerti apa syarat untuk tidur bersama srintil pada malam bukak-klambu.”(RDP.52)

g.      Amanat
       Jadilah manusia yang dinamis, mengikuti perkembangan zaman, agar tidak menjadi masyarakat yang mengalami keterbelakangan.


3.      Keterbelakangan Tradisi dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan.[11] Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, terdapat gambaran tentang dunia Dukuh Paruk yang miskin, kumuh, dan bodoh. Kemiskinan, kekumuhan, dam kebodohan Dukuh Paruk merupakan simbol ketidaktahuan dan keterbelakangan. Dunia itu adalah sebuah dusun di Banyumas, Jawa Tengah, dusun para ronggeng yang tidak beradab, yang menyerahkan dirinya hanya kepada dorongan-dorongan alamiah. Orang-orang yang hidup di dalamnya pun adalah orang-orang yang tidak mampu melepaskan diri dari alam, dari tradisi yang sudah lama membungkam mereka. Adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
“Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kebatinan kehidupan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.” (RDP.10)

“Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.” (RDP.11)

Pada kutipan tersebut bisa dilihat bahwa dunia Dukuh Paruk amat jauh menghadirkan perilaku manusia yang tidak pernah terbayangkan oleh orang kota yang sudah beradab.
Ronggeng bagi Dukuh Paruk seakan menjadi sesuatu yang amat berharga dan patut dimuliakan. Seorang istri bahkan tidak akan merasa dipermalukan bahkan merasa sangat bangga ketika suaminya mampu menjadi orang yang paling lama menari bersama sang ronggeng. Dua orang pemuda bahkan rela bertengkar demi dapat tidur bersama seorang ronggeng yang masih kanak-kanak. Esensi tentang kebenaran yang banyak disepakati seakan tidak berlaku bagi warga Dukuh Paruk.
Ronggeng adalah suatu penghargaan terhadap leluhur, bukan pelanggaran terhadap norma. Tidak ada yang patut disalahkan dan dibenarkan karena adat yang mengakar telah menanamkan pemahaman yang jauh berbeda dengan kehidupan di luar Dukuh Paruk. Pernikahan bukan lagi sebagai sesuatu yang dianggap sakral karena setelah menikah pun seorang laki-laki masih dapat meniduri wanita bahkan istri orang lain. Dukuh Paruk tidak pernah mempermasalahkan jika ada sepasang manusia yang tidur bersama dan mereka bukan suami istri. Perkara yang mudah saja jika seorang suami menemukan istrinya tidur dengan suami orang lain, maka suami akan membalas meniduri istri orang yang meniduri istrinya. Tidak akan ada pertengkaran tentang kesusilaan di Dukuh Paruk karena mereka memiliki caranya sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Berikut kutipannya.
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan. (RDP.38)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua penduduk Dukuh Paruk merestui tindakan tidak beradab tersebut.
Ada seorang gadis bernama Srintil yang demi tradisi dengan senang hati menyerahkan diri untuk menjadi ronggeng. Srintil bangga menjadi seorang ronggeng karena banyak pujian dan pemanjaan akan didapatkannya. Tapi ketika akan dilaksanakan malam buka kelambu pun, ia sadar bahwa ia sedang diperjualbelikan. Bahkan ketika dewasa, ia banyak bercerita tentang harapannya menjadi seorang istri dan memiliki anak. Berikut kutipannya.
“Ah, Yu. Aku tak ingin makan apa pun. Yang kuharapkan dari sampean bukan makanan melainkan anakmu. Nah, turunkan Goder, biar bermain bersamaku. Tanganku sudah gatal ingin menimangnya. Mari.” (RDP.137)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa seorang ronggeng sekalipun memiliki naluri sebagai perempuan normal, perempuan yang memiliki harapan untuk dapat menjadi seorang ibu.
Di dalam cerita juga dihadirkan seorang tokoh penting, yaitu Rasus. Berbeda dengan Srintil dan penduduk dusunnya, Rasus adalah tokoh yang berjarak dari masyarakatnya dan sudah terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan kota yang rasional dan empiris. Dia tidak setuju dengan kebudayaan masyarakatnya, tidak setuju dengan “keronggengan” Srintil. Karena itu, ia kemudian meninggalkan dusunnya dan menjadi tentara.
“...Semua tercengang hampir tak percaya bahwa Rasus sama seperti mereka, anak Dukuh Paruk yang sebenar-benarnya.” (RDP.345)
“Jadi Pak Tentara itu saudara kita juga. Dulu, inilah rumahnya,” kata anak Sakum. Wajah semua anak berseri-seri. (RDP.345)

Kedatangannya kembali ke dusunnya setelah beberapa tahun mengembara dan bekerja di kota. Di luar dusunnya yang aneh itu, membawa peran baru. Yaitu merekayasa masyarakat dusunnya dan berusaha menjadikannya sebagai masyarakat dan kebudayaan yang beradab.
Keluguan warga Dukuh Paruk adalah kejujuran tanpa pamrih, kehidupan yang harus dijalankan apa adanya. Pada saat wajah Dukuh Paruk mulai tampak sumringah, datang antek-antek PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mencoba memanfaatkan popularitas Srintil dan keluguan warga Dukuh Paruk. Terjadi geger komunis dan pergolakan politik serta kecemasan warga Dukuh Paruk. Srintil dan warga Dukuh menerima malapetaka akibat ketidaktahuan dan kebodohannya. Tragedi ini merupakan awal penjungkirbalikkan nilai-nilai dunia peronggengan yang pernah diagungkan oleh Srintil dan warga Dukuh Paruk. Dalam hal ini tampak jelas proses perkembangan watak Srintil. Orientasinya peronggengannya punah bersama kehancuran jiwanya. Kehadiran tokoh Bajus yang mengangkatnya dari keterasingan, mampu memulihkan harapan-harapan baru bagi Srintil. Terlebih lagi, bahwa kedatangan Rasus ke dukuhnya, sama sekali bukan untuk menyembuhkan luka pedukuhan itu, Rasus kembali menjadi anak “mursal” pedukuhannya sendiri. Peran itu dilambangkan dengan usahanya diakhir cerita untuk menyembuhkan Srintil dari penyakit gila, kehilangan akal. Berikut kutipannya.
Kegilaan Srintil yang disebabkan oleh “kebodohannya”. Pertama, karena tidak mengetahui seluk-beluk kehidupan politik kota di luar dusun, ia dan orang di sekitarnya ditipu oleh PKI. Kedua, karena tidak mengetahui liku-liku kehidupan kota, ia tertipu oleh janji Bajus yang datang dari kota. Bajus berjanji mengawininya, dan Srintil sangat berharap dengan janji itu. Tetapi ternyata Bajus hanya menjadikan Srintil sebagai pelacur yang disumbangkan ke pada pejabat untuk mendapatkan proyek.
Perubahan nilai peronggengan terjadi dalam diri Srintil. Begitu pula dengan Rasus, telah tumbuh kesadaran untuk kembali ke tanah leluhurnya, Dukuh Paruk. Setelah Srintil mengalami guncangan hebat, Rasus juga mengalami guncangan batin dalam tugasnya di Kalimantan Barat.
“Sesuatu yang bagiku terasa lebih besar adalah rusaknya konsep keprajuritan dalam jiwaku; lambat laun aku tidak merasa menjadi Gatotkaca lagi.” (RDP.389)

Dari kutipan di atas, menunjukkan kesadaran yang membawa Rasus pada satu sikap:
“Akulah yang secara moral paling layak mengambil tanggung jawab bagi kemanusiaan Dukuh Paruk.” (RDP.392)

Maka manakala ia tahu keadaan Srintil, Rasus, prajurit Dukuh Paruk bertindak sebagai pahlawan Dukuh Paruk.
Dengan demikian, kata Rasus, menyembuhkan Srintil dan masyarakat dusunnya berarti melenyapkan kebodohan mereka, keanehan mereka dan mengintegrasikan ke dalam masyarakat modern yang beradab.
Keterbelakangan tradisi dalam Ronggeng Dukuh Paruk dapat terlihat jelas dari rangkaian cerita. Animisme yang masih dipercaya, membuat pemikiran tentang ronggeng dibenarkan. Bahkan banyak warga Dukuh Paruk yang berbicara dengan kata-kata yang kasar dan tidak mendidik, serta kelakuan yang jauh dari logika masyarakat modern. Kemiskinan dan kebodohanlah yang menyebabkan warga Dukuh Paruk mengalami ketidaktahuan dan keterbelakangan. Cara beragama antar daerah yang satu dengan yang lainnya memang dapat berbeda, perilaku keberagaman dipengaruhi oleh  kultur setempat. Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan struktur yang ada, tetapi sebaiknya tradisi yang ada disesuaikan dengan logika hidup yang dinamis.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Novel Ronggeng Dukuh Paruk pada analisis ini mempunyai tema Tradisi Kehidupan Masyarakat Dukuh Paruk yang Mengalami Keterbelakangan, membahas tentang kemiskinan dan kebodohan masyarakat Dukuh Paruh serta tradisi ronggengnya.
2.      Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini terdapat berbagai hal yang menarik, salah satunya ialah mengenai keterbelakangan tradisi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk  dapat terlihat jelas dari rangkaian cerita. Animisme yang masih dipercaya, membuat pemikiran tentang ronggeng dibenarkan. Bahkan banyak warga Dukuh Paruk yang berbicara dengan kata-kata yang kasar dan tidak mendidik, serta kelakuan yang jauh dari logika masyarakat modern. Kemiskinan dan kebodohanlah yang menyebabkan warga Dukuh Paruk mengalami ketidaktahuan dan keterbelakangan. Cara beragama antar daerah yang satu dengan yang lainnya memang dapat berbeda, perilaku keberagaman dipengaruhi oleh  kultur setempat. Agama apapun akan senantiasa berdialog dengan struktur yang ada, tetapi sebaiknya tradisi yang ada disesuaikan dengan logika hidup yang dinamis.



[1] Farihah Wachdin, Ronggeng Dukuh Paruk (Studi Semiologi tentang Representasi Diskriminasi Perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, diunduh pada tanggal 10 Mei 2013 pukul 15.03 WIB, http://eprints.upnjatim.ac.id/3635/

[2]Ali Imron, Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh paruk, diunduh pada tanggal 10 Mei 2013 pukul 15.05 WIB, http://pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/06/ali-imron.pdf

[3]Tian, Pandangan Tokoh Srintil terhadap Tradisi Ronggeng dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk,http://tianfatmanuraini.blogspot.com/2011/07/pandangan-tokoh-srintil-terhadap.html, diakses tanggal 10 Mei 2013 pukul 15:18 WIB
[4]“Ahmad Tohari: Memangku Ronggeng”, Majalah Editor, 14 Oktober 1989, nomor 6
[5]Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005) h.67
[6]Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003) h. 86
[7]Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 194.
[8]Edy Sembodo, Contekan Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Mizan, 2010), h. 6
[9]Ibid h. 7
[10]M. Atar Semi,Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa, 1988), h. 47
[11] Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia Vol 1 (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15