1.
Pendahuluan.
Secara garis besar elemen bahasa terdiri atas dua
macam, yakni elemen bentuk dan elemen makna, atau lebih ringkasnya disebut bentuk dan makna. Bentuk adalah elemen dari fisik tuturan. Bentuk dari tataran
terendah sampai dengan tataran tertinggi diwujudkan dengan bunyi, suku kata,
morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Bentuk-bentuk
kebahasaan seperti morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana
memiliki konsep yang bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense). Makna adalah konsep abstrak
pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang per orang. Bila makna
merupakan pengalaman orang per orang maka setiap kata akan memiliki berbagai
macam makna karena pengalaman individu yang satu dengan yang lain berbeda-beda,
tidak mungkin sama (Wijana, 2008: 9 & 11).
Makna, yang
merupakan komponen abstrak tuturan, berkaitan dengan isi yang terkandung di
dalam bentuk dan yang menimbulkan reaksi di dalam pikiran pendengar atau
pembaca melalui kata, frasa, klausa, dan kalimat (Wijana, 1999: 1). Aspek makna
kebahasaan yang merupakan aspek sentral dalam komunikasi itulah yang dikaji
dalam semantik. Di dalam semantik, satuan-satuan kebahasaan memiliki relasi bentuk dan
makna dengan satuan kebahasaan yang lain. Salah satu relasi bentuk dan makna
yang memiliki kedudukan sentral di dalam semantik adalah relasi sinonimi. Sinonimi
merupakan relasi yang terdapat di antara dua kata atau lebih yang memiliki
makna yang hampir atau kurang lebih sama karena kesamaan di antara kata yang
bersinonim itu hanya menyangkut makna denotatif, sedangkan makna konotatifnya
tetap memperlihatkan adanya perbedaan atau nuansa.
Ada beberapa hal
yang menyebabkan munculnya kata-kata yang bersinonimi, diantaranya untuk
mencari padanan kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa nasional, atau bahasa
asing. Sebagai contoh, kukul (bahasa Jawa) bersinonimi dengan jerawat
(bahasa Indonesia), diabetes bersinonimi dengan penyakit kencing manis,
telepon genggam bersinonimi dengan kosakata yang berasal dari bahasa
asing, yakni handphone. Sinonimi dapat pula muncul antarkata (frasa atau
kalimat) yang berbeda ragam bahasanya, seperti bini (ragam bahasa
percakapan tidak resmi) dengan istri (ragam resmi), bokap (ragam
bahasa remaja) dengan ayah (ragam resmi). Kata-kata yang mendapat nilai
rasa (konotasi) yang berbeda juga dapat bersinonimi, seperti partai gurem
(perasaan negative) dengan partai kecil (perasaan netral). Meskipun
demikian, “Kata-kata”, kata Dr. Johnson (Ullman, Sumarsono, 2007: 175), “jarang
bersinonim betul”. Maculay mengemukakan gagasan serupa dalam arti akan
mengomentari linguis modern: “Ubahlah struktur kalimat; gantilah satu sinonim
dengan yang lain; maka keseluruhan efek kalimat itu akan hancur”. Dalam
linguistik masa kini hampir menjadi aksiomatis bahwa sinonim yang mutlak itu
tidak ada. Menurut Bloomfield (lihat Language hal. 145) setiap bentuk bahasa
mempunyai makna yang konstan dan spesifik. Jika bentuk-bentuk bahasa itu
berbeda secara fonemis, maka kita bisa berharap bahwa maknanya juga berbeda.
Dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa lain terdapat kata-kata yang bersinonim, tetapi
penggunaannya berbeda yang satu dari yang lain. Dalam bahasa Indonesia, kata mati
digunakan untuk mengacu pada makhluk yang sudah tidak bernyawa,
misalnya manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan kata tewas
digunakan untuk mengacu ke makna ‘tak bernyawa’, tetapi terjadi dalam
peperangan, bencana, dan kecelakaan. Kata tersebut memiliki makna yang sama
hanya penggunaannya yang berbeda.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa sinonim adalah dua kata atau lebih, yang
memiliki makna yang sama atau hampir sama yang sering, tetapi tidak selalu
dapat saling mengganti dalam kalimat (Cahyono, 1995: 208). Sebuah makna dapat diidentifikasikan apabila
dibandingkan dengan kata-kata lain yang maknanya berdekatan dan berlawanan
sebab hanya di dalam suatu medan, makna dapat
dijumpai (Trier,
Pujiastuti, 2001: 7).
Kata-kata yang maknanya berdekatan dapat diidentifikasi
dengan melihat hubungan kata-kata yang bersifat kontigu. Hubungan yang sifatnya kontigu (bersinggungan) adalah hubungan
antara leksem yang satu dengan yang lain di dalam satu medan yang mempunyai
makna yang bersinggungan. Masing-masing makna dari suatu leksem secara
distingtif dilawankan dengan makna-makna relasi lain. Atau dapat dikatakan, hubungan
kontiguitas merupakan hubungan antarmakna yang membentuk
satu wilayah makna dan perbedaan makna yang satu dengan yang lain,
sekurang-kurangnya dibedakan oleh satu komponen makna. Kontiguitas dapat
diartikan sebagai makna yang berdampingan, bersebelahan, atau berdekatan.
Misalnya kata melirik dan mengerling memiliki hubungan makna
kontiguitas (Nida, 1975: 15).
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa sinonimi berkaitan dengan dua kata atau
lebih yang mempunyai makna yang sama, sedangkan kontigu berkaitan dengan relasi
antara kata atau leksem yang satu dan leksem lainnya yang mempunyai makna yang
bersinggungan. Kedua jenis relasi makna tersebut banyak ditemukan dalam bahasa
Indonesia. Bagi penutur yang bukan merupakan penutur asli bahasa Indonesia,
kadang-kadang agak sulit untuk membedakan keduanya. Untuk itu, dalam makalah
ini akan dibahas bagaimanakah penggunaan sinonimi dan kontigu dalam bahasa Indonesia.
Dengan memaparkan penggunaan kedua relasi makna dalam semantik tersebut
diharapkan perbedaan keduanya dapat diidentifikasi.
2.
Pembahasan
Pada bagian
ini akan diuraikan dua jenis relasi semantik dalam bahasa Indonesia,
yaitu sinonimi dan kontiguitas. Untuk melihat bagaimana penggunaan sinonimi
maupun kontiguitas dalam bahasa Indonesia akan disertakan beberapa contoh
berikut penjelasannya.
2.1
Sinonimi
Sinonimi digunakan untuk menyatakan sameness of meaning ‘kesatuan arti’. Hal
tersebut dilihat dari kenyataan bahwa para penyusun kamus menunjukkan sejumlah
perangkat kata yang memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama
lain sama makna, atau hubungan diantara kata-kata yang mirip (dianggap mirip)
maknanya (Djajasudarma, 1999: 36). Dengan demikian, kita dapat mencari makna,
misalnya kata pandai bersinonim dengan cerdas
dan pintar, ringan bersinonim dengan enteng,
lafal bersinonim dengan ucapan, kotor bersinonim dengan noda,
dst.
Walaupun kata-kata bersinonim tersebut memiliki
kesamaan makna, tetapi makna itu tidak bersifat menyeluruh (total). Kesinoniman
yang menyeluruh (complete synonim)
tidak pernah dijumpai. Menurut Bloomfield, setiap bentuk kebahasaan yang
memiliki struktur fonemis yang berbeda dapat dipastikan memiliki makna yang
berbeda, betapapun kecilnya.
Adapun yang dimaksud dengan kata-kata bersinonim
total oleh Bloomfield adalah pasangan kata yang memiliki kesamaan makna secara
menyeluruh sehingga saling dapat menggantikan dalam seluruh konteks pemakaian.
Jadi, di dalam konteks apapun kata itu muncul, akan selalu dapat digantikan
oleh pasangan sinonimnya. Pasangan kata-kata semacam itu tidak pernah ditemukan
di dalam bahasa manapun. Sebagai pembuktian, marilah diperiksa kesinoniman kata
ayah, bapak, dan papa di dalam
bahasa Indonesia. Ketiga kata ini memang dapat saling menggantikan dalam
konteks (1a), (1b), dan (1c), tetapi tidak dapat berperilaku serupa dalam (2a),
(2b), dan (2c).
(1a). Kemarin ayah
saya tiba dari Solo.
(1b). Kemarin
bapak saya tiba dari Solo.
(1c). Kemarin papa
saya tiba dari Solo.
(2a). Bapak-bapak dan ibu-ibu yang kami hormati
(2b). *Ayah-ayah dan ibu-ibu yang kami hormati
(2c). *Papa-papa dan ibu-ibu yang kami hormati
Fenomena (1) dan (2) di atas, menunjukkan bahwa bapak memiliki komponen makna yang lebih
luas dibandingkan dengan ayah dan papa. Kata bapak dapat mengacu pada ‘orang laki-laki yang memiliki atau tidak
memiliki hubngan darah’, dan kata ini dapat digunakan dalam situasi formal atau
tidak formal. Sementara itu, kata ayah dapat
digunakan dalam situasi formal dan tidak formal, tetapi hanya mengacu kepada
‘lelaki yang memiliki hubungan darah. Kata papa
hanya digunakan untuk mengacu kepada orang laki-laki yang memiliki hubungan
darah dalam situasi pemakaian yang tidak formal. Kata ayah dan bapak dapat
digunakan untuk mengacu baik kepada yang berstatus sosial tinggi maupun rendah,
sedangkan papa hanya untuk orang yang
memiliki status sosial tinggi.
Ullmann (dalam Wijana, 2008: 31) mengikhtisarkan
kemungkinan perbedaan kata-kata bersinonim itu, sebagai berikut.
1.
Makna
salah satu anggota pasangan sinonim lebih umum daripada anggota pasangan
lannya. Misalnya kata memasak maknanya
lebih umum daripada kata mengukus,
merebus, menggoreng, menumis, membakar, memanggang, menyangrai, menggodok, dsb.
2.
Makna
salah satu anggota pasangan sinonim lebih intensif dibandingkan pasangan
lainnya. Misalnya kata gemar lebih
intensif daripada kata suka atau senang.
3.
Makna
salah satu anggota pasangan sinonim lebih halus/sopan dibandingkan pasangan
lainnya. Misalnya kata santap lebih
sopan dibandingkan dengan kata makan.
4.
Makna
sebuah kata lebih literer (bersifat kesastraan) dibandingkan dengan pasangan
sinonimnya. Misalnya kata surya dibandingkan
dengan kata matahari. Berikut
penggunaannya dalam kalimat.
(3a) Wati tidak jadi menjemur pakaian karena tidak
ada matahari
(3b) Burung itu mulai berkicau seiring tirbitnya
sang surya di ufuk timur.
5.
Makna
sebuah kata lebih kolokuial (tuturang yang tidak formal) dibandingkan dengan
pasangan sinonimnya. Misalnya, kata bikin
lebih kolokuial dbandingkan dengan kata buat.
6.
Salah
satu anggota pasangan sinonim maknanya lebih dialektal atau bersifat kedaerahan
dibandingkan dengan anggota pasangan yang lain. Misalnya, kata saya memiliki beberapa pasangan sinonim
bersifat dialektal, yaitu gue, beta, aye,
ane, dsb.
7.
Salah
satu anggota pasangan sinonim merupakan kosakata bahasa anak-anak untuk menjaga
kesantunan. Misalnya, kata tidur, makan, dan minum diganti dengan kata bobo,
maem, dan mimik.
2.2
Kontiguitas
Relasi kontiguitas
adalah hubungan antara leksem yang satu dengan leksem yang lain di dalam satu medan yang mempunyai
makna yang bersinggungan. Masing-masing makna dari suatu leksem secara
distingtif dilawankan dengan makna-makna relasi lain.
a.
Contoh
relasi kontiguitas dalam verba ‘Membawa’
Kata
‘membawa’ berarti memegang atau mengangkat sesuatu sambil berjalan atau
bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain (KBBI, 2005: 115). Ada beberapa hubungan
kontiguitas yang terdapat di antara leksem-leksem yang mengandung makna
‘membawa’. Leksem panggul, pikul, dan usung mempunyai hubungan kontiguitas atas
dasar kesamaan makna tertentu dan dibedakan atas beberapa komponen diagnostik.
Contoh hubungan kontiguitas yang lain yaitu antara leksem gotong dan usung;
bopong dan gendong; dan antara leksem gelandang, giring, seret, dorong, dan
tarik.
Hubungan kontiguitas yang terdapat di antara panggul,
pikul, dan usung didasarkan atas komponen umum “objek bertumpu pada bahu”.
Bentuk alat yang dipergunakan pada waktu melakukan aktivitas memikul dan
mengusung berbeda. Alat yang dipergunakan untuk memikul bernama pikulan,
sedangkan alat untuk mengusung namanya usungan.
Ketiga leksem itu disatukan oleh komponen makna dan
masing-masing dibedakan dengan unsur diagnostik yang berbeda antara leksem yang
satu dengan yang lain.
4a. Anak itu yang telah membantu
memanggul koperku.
4b. Anak itu yang telah membantu
memanggul koperku di bahu kanannya.
*4c. Anak itu yang telah membantu
memanggul koperku di kepalanya.
*4d. Anak itu yang telah membantu
memanggul koperku di lengannya.
Kalimat 4c dan 4d tidak berterima karena leksem memanggul berarti ‘membawa di atas
bahu’. Jadi, tidak mungkin kata memanggul digunakan untuk menjelaskan makna
kata membawa barang di atas kepala atau di lengan.
“Bahu sebagai tumpuan” merupakan unsur komponen yang dimiliki
oleh leksem panggul. Demikian juga halnya dengan leksem ‘usung’, ada komponen
‘bahu sebagai tumpuan’.
5a. Mereka sedang mengusung jenazah Pak Tirta.
5b. Mereka sedang mengusung jenazah Pak Tirta, peti
sebelah kanan diusung di bahu kiri
Budi, Eko, Tio, sedangkan
peti sisi kiri di bahu kanan Ajis, Indra, dan Dani.
*5c. Mereka sedang mengusung jenazah Pak Tirta, peti
sebelah kanan diusung di kepala
kiri
Budi, Eko, Tio, sedangkan peti sisi kiri di kepala kanan Ajis, Indra, dan Dani.
Tuturan 5c tidak berterima karena perluasan makna yang
menggunakan di kepala mengandung makna yang bertentangan dengan makna leksem
usung.
Komponen diagnostik yang membedakan leksem giring dengan seret, dorong, atau tarik
adalah ‘menuju tempat tertentu’. Berikut ini contoh penggunaannya dalam
kalimat.
6a. Anjing itu menyeret tulang yang diberikan adikku.
6b. Anjing itu menyeret tulang yang diberikan adikku
kesana kemari.
7a. Adik menarik mobil-mobilannya dengan seutas tali.
7b. Adik menarik mobil-mobilannya dengan seutas tali
kesana kemari.
8a. Amat bertugas menggiring sapi-sapinya.
*8b. Amat bertugas menggiring sapi-sapinya kesana
kemari.
8c. Amat bertugas menggiring sapi-sapinya ke padang rumput.
Kalimat 8b tidak berterima karena kata menggiring
memiliki tujuan ke suatu tempat atau ke tempat tertentu.
b.
Contoh
relasi kontiguitas dalam verba ‘melihat’
Kata melihat adalah kata yang secara umum
mengungkapkan ihwal mengetahui sesuatu melalui indera mata. Jadi kata itu tidak
hanya menyatakan ihwal membuka mata serta menunjukkannya ke objek tertentu,
tetapi juga ihwal mengetahui objek itu. Kata melihat sendiri memiliki beberapa leksem-leksem yang menunjukkan
hubungan kontiguitas, yaitu memandang,
menatap, mengamati, menonton, menyaksikan, dan meninjau. Perbedaan komponen diagnostik itu tampak pada kalimat
berikut.
9a. Dia memandang orang asing itu
dengan heran.
*9b. Dia meninjau orang asing itu dengan heran.
10a. Ia menatap lukisan yang dipamerkan itu satu per
satu.
*10b. Ia menonton lukisan yang dipamerkan itu satu per
satu.
11a. Mereka menonton pertandingan tinju itu melalui
televisi.
*11b. Mereka meninjau pertandingan tinju itu melalui
televisi.
12a. Bupati akan meninjau kecamatan yang dilanda
banjir besok pagi.
*12b. Bupati akan menyaksikan kecamatan yang dilanda
banjir besok pagi.
13a. Ia menyaksikan ujicoba mesin yang dirakitnya.
*13b. Ia menatap ujicoba mesin yang dirakitnya.
Kata memandang (9a) menyatakan perbuatan
memperhatikan objek dalam waktu yang agak lama dan dengan arah yang tetap.
Perbuatan itu melibatkan emosi pelakunya. Kata menatap (10a) menyatakan
perbuatan memperhatikan objek yang tetap dari jarak dekat. Kata menonton
(10b) menyatakan perbuatan melihat objek karena didorong oleh rasa ingin tahu
akan apa yang terjadi. Perbuatan itu juga dapat dimaksudkan untuk menghibur
diri. Kata meninjau (12a) semula menyatakan perbuatan melihat dari
tempat yang tinggi. Kata itu kini sering digunakan untuk menyatakan perbuatan
mendatangi sesuatu tempat untuk mengetahui keadaannya. Pelakunya adalah orang
yang memiliki wewenang atau hak untuk melakukan peninjauan. Kata menyaksikan
(13a) menyatakan perbuatan melihat sesuatu untuk mengetahui kebenarannya.
3.
Penutup
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sinonimi berbeda dengan kontiguitas. Sinonimi
berkaitan dengan makna yang sama (hampir sama) dari dua kata atau lebih,
sedangkan kontiguitas berhubungan dengan relasi antara kata yang satu dan kata
yang lainnya yang mempunya makna yang
bersinggungan (berdekatan). Kata yang mempunyai relasi kontiguitas tidak bisa saling
menggantikan dalam penggunannya, sedangkan kata yang bersinonim ada yang bisa
saling menggantikan meskipun lebih banyak kata yang tidak bisa saling
menggantikan.