Cari Blog Ini

Senin, 29 April 2019

KONTIGUITAS DAN SINONIMI DALAM BAHASA INDONESIA




1.      Pendahuluan.
Secara garis besar elemen bahasa terdiri atas dua macam, yakni elemen bentuk dan elemen makna, atau lebih ringkasnya disebut bentuk dan makna. Bentuk adalah elemen dari fisik tuturan. Bentuk dari tataran terendah sampai dengan tataran tertinggi diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Bentuk-bentuk kebahasaan seperti morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana memiliki konsep yang bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense). Makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang per orang. Bila makna merupakan pengalaman orang per orang maka setiap kata akan memiliki berbagai macam makna karena pengalaman individu yang satu dengan yang lain berbeda-beda, tidak mungkin sama (Wijana, 2008: 9 & 11).
Makna, yang merupakan komponen abstrak tuturan, berkaitan dengan isi yang terkandung di dalam bentuk dan yang menimbulkan reaksi di dalam pikiran pendengar atau pembaca melalui kata, frasa, klausa, dan kalimat (Wijana, 1999: 1). Aspek makna kebahasaan yang merupakan aspek sentral dalam komunikasi itulah yang dikaji dalam semantik. Di dalam semantik, satuan-satuan kebahasaan memiliki relasi bentuk dan makna dengan satuan kebahasaan yang lain. Salah satu relasi bentuk dan makna yang memiliki kedudukan sentral di dalam semantik adalah relasi sinonimi. Sinonimi merupakan relasi yang terdapat di antara dua kata atau lebih yang memiliki makna yang hampir atau kurang lebih sama karena kesamaan di antara kata yang bersinonim itu hanya menyangkut makna denotatif, sedangkan makna konotatifnya tetap memperlihatkan adanya perbedaan atau nuansa.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya kata-kata yang bersinonimi, diantaranya untuk mencari padanan kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa nasional, atau bahasa asing. Sebagai contoh, kukul (bahasa Jawa) bersinonimi dengan jerawat (bahasa Indonesia), diabetes  bersinonimi dengan penyakit kencing manis, telepon genggam bersinonimi dengan kosakata yang berasal dari bahasa asing, yakni handphone. Sinonimi dapat pula muncul antarkata (frasa atau kalimat) yang berbeda ragam bahasanya, seperti bini (ragam bahasa percakapan tidak resmi) dengan istri (ragam resmi), bokap (ragam bahasa remaja) dengan ayah (ragam resmi). Kata-kata yang mendapat nilai rasa (konotasi) yang berbeda juga dapat bersinonimi, seperti partai gurem (perasaan negative) dengan partai kecil (perasaan netral). Meskipun demikian, “Kata-kata”, kata Dr. Johnson (Ullman, Sumarsono, 2007: 175), “jarang bersinonim betul”. Maculay mengemukakan gagasan serupa dalam arti akan mengomentari linguis modern: “Ubahlah struktur kalimat; gantilah satu sinonim dengan yang lain; maka keseluruhan efek kalimat itu akan hancur”. Dalam linguistik masa kini hampir menjadi aksiomatis bahwa sinonim yang mutlak itu tidak ada. Menurut Bloomfield (lihat Language hal. 145) setiap bentuk bahasa mempunyai makna yang konstan dan spesifik. Jika bentuk-bentuk bahasa itu berbeda secara fonemis, maka kita bisa berharap bahwa maknanya juga berbeda.
Dalam bahasa Indonesia maupun bahasa lain terdapat kata-kata yang bersinonim, tetapi penggunaannya berbeda yang satu dari yang lain. Dalam bahasa Indonesia, kata mati digunakan untuk mengacu pada makhluk yang sudah tidak bernyawa, misalnya manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan kata tewas digunakan untuk mengacu ke makna ‘tak bernyawa’, tetapi terjadi dalam peperangan, bencana, dan kecelakaan. Kata tersebut memiliki makna yang sama hanya penggunaannya yang berbeda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sinonim adalah dua kata atau lebih, yang memiliki makna yang sama atau hampir sama yang sering, tetapi tidak selalu dapat saling mengganti dalam kalimat (Cahyono, 1995: 208). Sebuah makna dapat diidentifikasikan apabila dibandingkan dengan kata-kata lain yang maknanya berdekatan dan berlawanan sebab hanya di dalam suatu medan, makna dapat dijumpai (Trier, Pujiastuti, 2001: 7).
Kata-kata yang maknanya berdekatan dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan kata-kata yang bersifat kontigu.  Hubungan yang sifatnya kontigu (bersinggungan) adalah hubungan antara leksem yang satu dengan yang lain di dalam satu medan yang mempunyai makna yang bersinggungan. Masing-masing makna dari suatu leksem secara distingtif dilawankan dengan makna-makna relasi lain. Atau dapat dikatakan, hubungan kontiguitas merupakan hubungan antarmakna yang membentuk satu wilayah makna dan perbedaan makna yang satu dengan yang lain, sekurang-kurangnya dibedakan oleh satu komponen makna. Kontiguitas dapat diartikan sebagai makna yang berdampingan, bersebelahan, atau berdekatan. Misalnya kata melirik dan mengerling memiliki hubungan makna kontiguitas (Nida, 1975: 15).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sinonimi berkaitan dengan dua kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, sedangkan kontigu berkaitan dengan relasi antara kata atau leksem yang satu dan leksem lainnya yang mempunyai makna yang bersinggungan. Kedua jenis relasi makna tersebut banyak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Bagi penutur yang bukan merupakan penutur asli bahasa Indonesia, kadang-kadang agak sulit untuk membedakan keduanya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas bagaimanakah penggunaan sinonimi dan kontigu dalam bahasa Indonesia. Dengan memaparkan penggunaan kedua relasi makna dalam semantik tersebut diharapkan perbedaan keduanya dapat diidentifikasi.

2.      Pembahasan
Pada bagian ini akan diuraikan dua jenis relasi semantik dalam bahasa Indonesia, yaitu sinonimi dan kontiguitas. Untuk melihat bagaimana penggunaan sinonimi maupun kontiguitas dalam bahasa Indonesia akan disertakan beberapa contoh berikut penjelasannya.

2.1    Sinonimi
Sinonimi digunakan untuk menyatakan sameness of meaning ‘kesatuan arti’. Hal tersebut dilihat dari kenyataan bahwa para penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna, atau hubungan diantara kata-kata yang mirip (dianggap mirip) maknanya (Djajasudarma, 1999: 36). Dengan demikian, kita dapat mencari makna, misalnya  kata pandai bersinonim dengan cerdas dan pintar, ringan bersinonim dengan enteng, lafal bersinonim dengan ucapan, kotor bersinonim dengan noda, dst.
Walaupun kata-kata bersinonim tersebut memiliki kesamaan makna, tetapi makna itu tidak bersifat menyeluruh (total). Kesinoniman yang menyeluruh (complete synonim) tidak pernah dijumpai. Menurut Bloomfield, setiap bentuk kebahasaan yang memiliki struktur fonemis yang berbeda dapat dipastikan memiliki makna yang berbeda, betapapun kecilnya.
Adapun yang dimaksud dengan kata-kata bersinonim total oleh Bloomfield adalah pasangan kata yang memiliki kesamaan makna secara menyeluruh sehingga saling dapat menggantikan dalam seluruh konteks pemakaian. Jadi, di dalam konteks apapun kata itu muncul, akan selalu dapat digantikan oleh pasangan sinonimnya. Pasangan kata-kata semacam itu tidak pernah ditemukan di dalam bahasa manapun. Sebagai pembuktian, marilah diperiksa kesinoniman kata ayah, bapak, dan papa di dalam bahasa Indonesia. Ketiga kata ini memang dapat saling menggantikan dalam konteks (1a), (1b), dan (1c), tetapi tidak dapat berperilaku serupa dalam (2a), (2b), dan (2c).
(1a). Kemarin ayah saya tiba dari Solo.
(1b).  Kemarin bapak saya tiba dari Solo.
(1c). Kemarin papa saya tiba dari Solo.
(2a). Bapak-bapak dan ibu-ibu yang kami hormati
(2b). *Ayah-ayah dan ibu-ibu yang kami hormati
(2c). *Papa-papa dan ibu-ibu yang kami hormati
Fenomena (1) dan (2) di atas, menunjukkan bahwa bapak memiliki komponen makna yang lebih luas dibandingkan dengan ayah dan papa. Kata bapak dapat mengacu pada ‘orang laki-laki yang memiliki atau tidak memiliki hubngan darah’, dan kata ini dapat digunakan dalam situasi formal atau tidak formal. Sementara itu, kata ayah dapat digunakan dalam situasi formal dan tidak formal, tetapi hanya mengacu kepada ‘lelaki yang memiliki hubungan darah. Kata papa hanya digunakan untuk mengacu kepada orang laki-laki yang memiliki hubungan darah dalam situasi pemakaian yang tidak formal. Kata ayah dan bapak dapat digunakan untuk mengacu baik kepada yang berstatus sosial tinggi maupun rendah, sedangkan papa hanya untuk orang yang memiliki status sosial tinggi.
Ullmann (dalam Wijana, 2008: 31) mengikhtisarkan kemungkinan perbedaan kata-kata bersinonim itu, sebagai berikut.
1.          Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih umum daripada anggota pasangan lannya. Misalnya kata memasak maknanya lebih umum daripada kata mengukus, merebus, menggoreng, menumis, membakar, memanggang, menyangrai, menggodok, dsb.
2.          Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih intensif dibandingkan pasangan lainnya. Misalnya kata gemar lebih intensif daripada kata suka atau senang.
3.          Makna salah satu anggota pasangan sinonim lebih halus/sopan dibandingkan pasangan lainnya. Misalnya kata santap lebih sopan dibandingkan dengan kata makan.
4.          Makna sebuah kata lebih literer (bersifat kesastraan) dibandingkan dengan pasangan sinonimnya. Misalnya kata surya dibandingkan dengan kata matahari. Berikut penggunaannya dalam kalimat.
(3a) Wati tidak jadi menjemur pakaian karena tidak ada matahari
(3b) Burung itu mulai berkicau seiring tirbitnya sang surya di ufuk timur.
5.          Makna sebuah kata lebih kolokuial (tuturang yang tidak formal) dibandingkan dengan pasangan sinonimnya. Misalnya, kata bikin lebih kolokuial dbandingkan dengan kata buat.
6.          Salah satu anggota pasangan sinonim maknanya lebih dialektal atau bersifat kedaerahan dibandingkan dengan anggota pasangan yang lain. Misalnya, kata saya memiliki beberapa pasangan sinonim bersifat dialektal, yaitu gue, beta, aye, ane, dsb.
7.          Salah satu anggota pasangan sinonim merupakan kosakata bahasa anak-anak untuk menjaga kesantunan. Misalnya, kata tidur, makan, dan minum diganti dengan kata bobo, maem, dan mimik.



2.2    Kontiguitas
Relasi kontiguitas adalah hubungan antara leksem yang satu dengan leksem yang lain di dalam satu medan yang mempunyai makna yang bersinggungan. Masing-masing makna dari suatu leksem secara distingtif dilawankan dengan makna-makna relasi lain.
a.        Contoh relasi kontiguitas dalam verba ‘Membawa’
Kata ‘membawa’ berarti memegang atau mengangkat sesuatu sambil berjalan atau bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain (KBBI, 2005: 115). Ada beberapa hubungan kontiguitas yang terdapat di antara leksem-leksem yang mengandung makna ‘membawa’. Leksem panggul, pikul, dan usung mempunyai hubungan kontiguitas atas dasar kesamaan makna tertentu dan dibedakan atas beberapa komponen diagnostik. Contoh hubungan kontiguitas yang lain yaitu antara leksem gotong dan usung; bopong dan gendong; dan antara leksem gelandang, giring, seret, dorong, dan tarik.
Hubungan kontiguitas yang terdapat di antara panggul, pikul, dan usung didasarkan atas komponen umum “objek bertumpu pada bahu”. Bentuk alat yang dipergunakan pada waktu melakukan aktivitas memikul dan mengusung berbeda. Alat yang dipergunakan untuk memikul bernama pikulan, sedangkan alat untuk mengusung namanya usungan.
Ketiga leksem itu disatukan oleh komponen makna dan masing-masing dibedakan dengan unsur diagnostik yang berbeda antara leksem yang satu dengan yang lain.
            4a. Anak itu yang telah membantu memanggul koperku.
            4b. Anak itu yang telah membantu memanggul koperku di bahu kanannya.
            *4c. Anak itu yang telah membantu memanggul koperku di kepalanya.
            *4d. Anak itu yang telah membantu memanggul koperku di lengannya.

Kalimat 4c dan 4d tidak berterima karena leksem memanggul berarti ‘membawa di atas bahu’. Jadi, tidak mungkin kata memanggul digunakan untuk menjelaskan makna kata membawa barang di atas kepala atau di lengan.
“Bahu sebagai tumpuan” merupakan unsur komponen yang dimiliki oleh leksem panggul. Demikian juga halnya dengan leksem ‘usung’, ada komponen ‘bahu sebagai tumpuan’.
5a. Mereka sedang mengusung jenazah Pak Tirta.
5b. Mereka sedang mengusung jenazah Pak Tirta, peti sebelah kanan diusung di bahu kiri
      Budi, Eko, Tio, sedangkan peti sisi kiri di bahu kanan Ajis, Indra, dan Dani.
*5c. Mereka sedang mengusung jenazah Pak Tirta, peti sebelah kanan diusung di kepala
        kiri Budi, Eko, Tio, sedangkan peti sisi kiri di kepala kanan Ajis, Indra, dan Dani.
Tuturan 5c tidak berterima karena perluasan makna yang menggunakan di kepala mengandung makna yang bertentangan dengan makna leksem usung.
Komponen diagnostik yang membedakan leksem giring dengan seret, dorong, atau tarik adalah ‘menuju tempat tertentu’. Berikut ini contoh penggunaannya dalam kalimat.
6a. Anjing itu menyeret tulang yang diberikan adikku.
6b. Anjing itu menyeret tulang yang diberikan adikku kesana kemari.
7a. Adik menarik mobil-mobilannya dengan seutas tali.
7b. Adik menarik mobil-mobilannya dengan seutas tali kesana kemari.
8a. Amat bertugas menggiring sapi-sapinya.
*8b. Amat bertugas menggiring sapi-sapinya kesana kemari.
8c. Amat bertugas menggiring sapi-sapinya ke padang rumput.
Kalimat 8b tidak berterima karena kata menggiring memiliki tujuan ke suatu tempat atau ke tempat tertentu.
b.        Contoh relasi kontiguitas dalam verba ‘melihat’
Kata melihat adalah kata yang secara umum mengungkapkan ihwal mengetahui sesuatu melalui indera mata. Jadi kata itu tidak hanya menyatakan ihwal membuka mata serta menunjukkannya ke objek tertentu, tetapi juga ihwal mengetahui objek itu. Kata melihat sendiri memiliki beberapa leksem-leksem yang menunjukkan hubungan kontiguitas, yaitu memandang, menatap, mengamati, menonton, menyaksikan, dan meninjau. Perbedaan komponen diagnostik itu tampak pada kalimat berikut.
            9a. Dia memandang orang asing itu dengan heran.
*9b. Dia meninjau orang asing itu dengan heran.
10a. Ia menatap lukisan yang dipamerkan itu satu per satu.
*10b. Ia menonton lukisan yang dipamerkan itu satu per satu.
11a. Mereka menonton pertandingan tinju itu melalui televisi.
*11b. Mereka meninjau pertandingan tinju itu melalui televisi.
12a. Bupati akan meninjau kecamatan yang dilanda banjir besok pagi.
*12b. Bupati akan menyaksikan kecamatan yang dilanda banjir besok pagi.
13a. Ia menyaksikan ujicoba mesin yang dirakitnya.
*13b. Ia menatap ujicoba mesin yang dirakitnya.
Kata memandang (9a) menyatakan perbuatan memperhatikan objek dalam waktu yang agak lama dan dengan arah yang tetap. Perbuatan itu melibatkan emosi pelakunya. Kata menatap (10a) menyatakan perbuatan memperhatikan objek yang tetap dari jarak dekat. Kata menonton (10b) menyatakan perbuatan melihat objek karena didorong oleh rasa ingin tahu akan apa yang terjadi. Perbuatan itu juga dapat dimaksudkan untuk menghibur diri. Kata meninjau (12a) semula menyatakan perbuatan melihat dari tempat yang tinggi. Kata itu kini sering digunakan untuk menyatakan perbuatan mendatangi sesuatu tempat untuk mengetahui keadaannya. Pelakunya adalah orang yang memiliki wewenang atau hak untuk melakukan peninjauan. Kata menyaksikan (13a) menyatakan perbuatan melihat sesuatu untuk mengetahui kebenarannya.

3.      Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sinonimi berbeda dengan kontiguitas. Sinonimi berkaitan dengan makna yang sama (hampir sama) dari dua kata atau lebih, sedangkan kontiguitas berhubungan dengan relasi antara kata yang satu dan kata yang lainnya yang  mempunya makna yang bersinggungan (berdekatan). Kata yang mempunyai relasi kontiguitas tidak bisa saling menggantikan dalam penggunannya, sedangkan kata yang bersinonim ada yang bisa saling menggantikan meskipun lebih banyak kata yang tidak bisa saling menggantikan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar