Cari Blog Ini

Jumat, 06 Februari 2015

Perbandingan Konotasi dan Denotasi dalam Teori Semantik dan Pembelajaran Bahasa di SMA

BAB I
PENDAHULUAN

Pembelajaran dan pemakaian kata bahasa indonesia di lingkungan masyarakat terdapat jenis makna dan arti dalam berbahasa. Pada semantik terdapat jenis makna dan arti yang dapat diklarifikasikan menjadi arti leksikal dan gramatikal, arti denotatif dan arti konotatif, dan arti literal dan non literal.  Akan tetapi klarifikasi makna dan arti  setiap tokoh biasanya mengklarifikasikannya berbeda-beda.
Pemakaian kata dalam bahasa indonesia dapat diartikan secara leksikal atau konsep, tapi juga dapat diartikan secara kontekstual, sesuai dengan situasi pemakaiannya. Kemungkinan sebuah kata diartikan secara leksikal maupun kontekstual dalam mengungkapkan maksud, penggungkapan maksud ini dapat bermakna kata arti denotatif atau arti konotatif. Namun arti denotatif maupun arti konotatif terkadang terjadi kekeliruan yang terdapat dalam pembelajaran dan pemakaian kata bahasa indonesia. Materi ini dipilih adalah untuk meneliti kesesuaian antara materi yang ada dalam semantik tentang arti denotasi dan konotasi dengan materi yang ada dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMK kelas XI dan XII. Jika dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMK kelas XI dan XII materi yang disajikan hanya dalam gambaran umum, dalam semantik akan dibahas secara lebih terperinci agar dalam pengajarannya nanti diharapkan kita memiliki pengetahuan lebih mengenai materi yang akan disampaikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Deskripsi Teoritis Denotasi dan Konotasi (Teori Semantik)
1.    Istilah denotasi (denotation) digunakan dalam konsep yang berbeda dalam semantik, yaitu:
a.    Menurut Trask mengemukakan bahwa denotasi mengacu kepada arti sentral dari sebuah bentuk linguistik yang dapat dipertimbangkan sebagai hal yang diacunya.
b.  Hartmann dan James mendefinisikan denotasi sebagai “an aspect oh meaning that relates a word or phrase to the objective referent it expresses” atau aspek arti yang menghubungkan bentuk linguistik dengan acuan objektif yang dimaksudkan.
c.    Cruse mengemukakan bahwa yang dimaksud denotasi adalah aspek arti dari bentuk linguistik yang secara potensial dapat dijadikan dasar untuk membuat penyataan yang benar tentang dunia. Menurutnya denotasi mencakupi persoalan ekstensi dan intensi. Ekstensi dari sebuah bentuk linguistik mencakupi seluruh entitas yang dapat didenotasikan oleh bentuk tersebut, misalnya kata bunga dapat mendenotasi mawar, melati, anggrek, dan sebagainya yang masih termasuk dalam kelompok bunga; sedangkan intensi dari sebuah bentuk linguistik mengacu kepada ciri dan atau sifat yang dimiliki bersama oleh eksistensinya, misalnya ciri atau sifat yang sama antara melati, mawar, anggrek, dan sebagainya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa arti denotatif adalah aspek arti dari bentuk linguistik tertentu yang mengandung ciri : 1) merupakan arti sentral atau inti, 2) menghubungkan bentuk linguistik dengan acuan objektifnya, 3) dapat dijadikan dasar untuk membuat pernyataan yang benar tentang dunia. Arti denotatif ini kadang disamakan dengan arti literal, arti referensial, arti kognitif, dan arti konseptual.
2. Selanjutnya, seperti denotasi, istilah konotasi (connotation) juga diberi batasan yang berbeda-beda pula, yaitu :
a.    Menurut Trask mendefinikan konotasi sebagai “the meaning of a word that is broader than its central and primary sense, often acquired through frequent associations” atau arti kata yang lebih luas dari makna sentral dan makna utamanya yang biasanya diperoleh melalui asosiasi yang berulang.
b.    Richards dan Schimdt mengemukakan bahwa konotasi arti tambahan dari kata atau frasa yang melampaui arti sentralnya. Berdasarkan acuan dari kata atau frasa tersebut, arti tambahan tersebut memperlihatkan emosi dan sikap penggunanya. Akan tetapi mereka lebih jauh menambahkan konotasi dapat dimiliki bersama-sama oleh sekelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya, sosial, jenis kelamin, dan umur yang sama, dan konotasi dapat pula hanya dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang dan tergantung kepada pengalaman mereka.
c.    Batasan yang serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Richards dan Smith juga dikemukakan oleh Hartman dan James yaitu bahwa konotasi adalah aspek arti kata dari kata atau frasa yang diasosiakan dengan nada tambahan yang bersifat subjektif emotif.
d.   Crystal juga mengemukakan bahwa konotasi adalah emosional, baik individual maupun komunal, yang disugestikan oleh sebuah atau sebagian arti dari, unit linguistik.
e.    Adapun batasan berbeda, menurut pendapat Cruse, bahwa konotasi memiliki beberapa arti yaitu 1) dalam bahasa sehari-hari, konotasi berarti kurang lebih sama dengan asosiasi, 2) dalam penggunaan teknisnya, istilah konotasi mengacu kepada aspek arti yang tidak didasarkan atas kondisi kebenaran (non-truth-conditional), dan 3) kadang kala istilah konotasi digunakan sebanding dengan istilah intensi.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konotasi memiliki beberapa dimensi, yaitu 1) lebih luas dari arti sentral dan arti utamanya, 2) merupakan arti tambahan yang diperoleh melalui asosiasi, 3) bersifat tambahan, subjektif, emotif, dan menggambarkan sikap penggunanya, 4) dilatarbelakangi oleh pengalaman, sehingga dapat dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat pemakai bahasa atau hanya oleh seseorang dan sekelompok orang. Arti konotasi sering disamakan dengan arti afektif dan arti emotif.
Untuk membedakan arti konotatif dan denotatif, perlu mempertimbangkan hubungan antara kata kuli, buruh, karyawan dan pekerja. Empat kata tersebut memiliki arti denotatif yang kurang lebih sama. Akan tetapi, kandungan nilai rasa yang melekat pada empat kata tersebut berbeda-beda, sehingga kita merasa bahwa kata kuli lebih kasar daripada kata buruh, kata buruh lebih kasar daripada kata karyawan, dan karyawan lebih kasar daripada kata pekerja. Sebagai contoh lain, dapat juga dipertimbangkan dalam kata anjing. kata anjing memiliki konotasi negatif dalam bahasa indonesia. Karena konotasi negatif ini, kita dapat menggunakan sebagai makian, dan dapat diartikan sebaliknya bahwa kata yang dapat digunakan sebagai makian biasanya memiliki konotasi negatif. Nilai rasa yang negati ini didapatkan dari asosiasi yang berulang dari kata makian tersebut terhadap sesuatu hal yang secara moral dapat dikategorikan sebagai buruk. Dalam terminologi islam, anjing adalah binatang yang mengandung najis, bahkan najis yang terberat. Kebetulan, mayoritas penduduk Indonesia beragama islam. Asosiasi anjing dengan najis tersebut menyebabkan nilai rasa kata anjing dalam bahasa Indonesia menjadi buruk.[1]
Makna denotatif dan makna konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna donotatif ‘sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya’. Kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang  yang lebih kecil dari ukuran yang normal’. Kata rombongan bermakna denotatif ‘sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan’.
Kalau denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebernanya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh di atas, pada orang islam atau dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan (unfavorable). Tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata krempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu , mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakan; orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya krempeng.
Dari contoh kurus, ramping, dan krempeng itu dapat kita simpulkan, bahwa ketiga kata itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak sama; kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan krempeng berkonotasi negatif. Bagaimana dengan kata rombongan dan gerombolan? Manakah yang berkonotasi positif dan mana pula yang berkonotasi negatif?
Berkenaan dengan masalah konotasi ini, satu hal yang harus anda ingat adalah bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain, antara satu daerah dengan daerah lain, atau antara masa dengan masa lain. Begitulah dengan kata babi di atas; berkonotasi negatif bagi agama islam, tetapi tidak berkonotasi negatif bagi yang tidak beragama islam. Sebelum zaman penjajahan jepang kata perempuan tidak berkonotasi negatif, tetapi kini berkonotasi negatif.[2]
Makna denotatif dan konotatif
Makna kata wanita dan perempuan kesemuanya mengacu kepada referen atau acuannya di luar bahasa, yaitu ‘orang yang berjenis kelamin feminim’. Keseluruhan komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata disebut denotata. Oleh karenanya, makna yang demikian disebut makna denotatif. Walaupun wanita dan perempuan memiliki makna denotatif yang sama, tetapi masing-masing mempunyai nilai emotif yang berbeda. Nilai emotif di sini menyangkut nuansa halus dan kasar. Nilai emotif yang terdapat pada suatu bentuk kebahasaan disebut konotasi. Oleh karenanya, wanita dan perempuan dikatakan memiliki makna konotatif yang berbeda. Kata wanita  memiliki nuansa makna halus, sedangkan perempuan memiliki nuansa makna yang (lebih) kasar. Contoh lain ialah kata suami dan laki, istri dan bini, serta pramuwisma dan babu, dsb. Untuk ini, dapat diperhatikan ketidakmungkinan penyulihan (3), (4), dan (5) menjadi (6), (7), dan (8) berikut.
(3)   para istri karyawan pabrik itu akan beranjangsana ke pabrik tekstil.
(4)   Ibu-ibu diharapkan hadir didampingi suami masing-masing.
(5)   Dia mendapat penghargaan sebagai pramuwisma teladan.
(6)   *Para bini karyawan pabrik itu akan beranjangsana ke pabrik tekstil.
(7)   Ibu-ibu diharapkan hadir didampingi laki masing-masing.
(8)   Dia mendapat penghargaan sebagai babu teladan.[3]
Makna kognitif
Makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan. Makna kognitif adalah makna lugas, makna apa adanya. Makna kognitif tidak hanya dimiliki kata-kata yang menunjuk benda-benda nyata, tetapi mengacu pila pada bentuk-bentuk yang makna kognitifnya khusus (Djajasudarma, 1993:9).
Kridalaksana (1993) dalam kamus linguistik, memberikan penjelasan bahwa makna kognitif (cognitive meaning) adalah aspek-aspek makna satuan bahasa yang berhubungan dengan ciri-ciri dalam alam di luar bahasa atau penalaran.
Makna kognitif sering digunakan dalam istilah teknik. Seperti telah disebutkan bahwa makna konotatif disebut juga makna deskriptif, makna denotatif dan makna kognitif konsepsional. Makna ini tidak pernah dihubungkan dengan hal-hal lebih secara asosiatif, makna tanpa tafsiran hubungan dangan benda lain atau peristiwa lain. Makna kognitif adalah makna sebenarnya, bukan makna kiasan atau perumpamaan.
Makna Konotatif dan Emotif
     Makna kognitif dapat dibedakan dari makna konotatif dan emotif berdasarkan hubungannya, yaitu hubungan antara kata dengan acuannya (referent) atau hubungan kata dengan denotasinya (hubungan antara kata (ungkapan) dengan orang, tempat, sifat, proses, dan kegiatan luar bahasa; dan hubungan antara kata (ungkapan) dengan ciri-ciri tertentu yang bersifat konotatif atau emotif.
     Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif (lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan komponen makna lain (Djajasudarma, 1993). Sementara krida laksan (1993), memberikan pengertian bahwa makna konotatif (connotative meaning) sama dengan konotasi, yaitu aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
     Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotative yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata babi, pada orang yang beragama islam kata babi tersebut mempunyai konotasi negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata tersebut. Contoh lain, kata kurus, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi kata ramping, yang bersinonim dengan kata kurus memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakan, orang akan senang bila dikatakan ramping. Begitu juga dengan kata kerempeng, yang bersinonim dengan kata kurus dan kata ramping, mempunyai konotasi negatif, nilai rasa yang tidak mengenakan, orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
     Makna konotatif dapat dibedakan dari makna emotif karena yang disebut pada bagian pertama bersifat negative dan yang disebut kemudian bersifat positif. Makna konatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau apa yang didengar. Makna konatif atau emotif sangat luas dan tidak dapat diberikan secara tepat. Makna konatif dan makna emotif dapat dibedakan berdasarkan masyarakat yang diciptakannya atau menurut individu yang menciptakannya atau menghasilkannya, dan dapat dibedakan berdasarkan media yang digunakan (lisan atau tulisan), serta menjadi bidang yang menjadi isinya. Makna konotatif berubah dari zaman ke zaman. Makna konotatif dan emotif dapat bersifat insidental.
     Makna emotif (bahasa inggris emotive meaning) adalah makna yang melibatkan perasaan (pembicaraan dan pendengar; penulis dan pembaca) ke arah yang positif. Makna ini berbeda dengan makna kognitif (denotatif) yang menunjukkan adanya hubungan antara dunia konsep (reference) dengan kenyataan, makna emotif menunjuk sesuatu yang lain yang tidak sepenuhnya sama dengan yang terdapat dalam dunia kenyataan (Djajasudarma, 1993).
     Suatu kata dapat memiliki makna emotif dan bebas dari makna kognitif, atau dua kata dapat memiliki makna kognitif yang sama, tetapi kedua kata tersebut dapat memiliki makna emotif yang berbeda. Makna emotif di dalam bahasa indonesia cenderung berbeda dengan makna konotatif; makna emotif cenderung mengacu kepada hal-hal (makna) yang negatif.[4]

B.            Materi Denotasi dan Konotasi pada Buku SMK Kelas XI dan Kelas XII
Makna kata adalah maksud suatu kata atau isi suatu pembicaraan atau pikiran. Apabila hendak mencari makna suatu kata, dapat dilakukan adalah memahami maksud dan mengenal karakter yang terkandung dalam kata tersebut. Secara umum, makna suatu kata dibedakan atas makna denotasi dan makna konotasi.  
1.    Denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang sesuai dengan konsep awal, apa adanya, dan tidak mengandung makna tambahan. Makna denotasi disebut juga makna konseptual, makna lugas atau makna objektif. Contoh:
·      Hitam            : warna gelap : Dompet hitamnya tertinggal di kamar hotel.
·      Besi               : logam yang sangat keras : Wilayah Kebun Raya Bogor
                       dikelilingi pagar besi.
2.    Konotasi adalah makna atau kata atau kelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran sesorang. Konotasi sebenarnya merupakan makna yang telah mengalami penambahan-penambahan, baik dari sikap sosial, lingkungan geografis, atau pun dari faktor kesejarahan. Makna konotasi disebut juga makna kontekstual, kiasan atau makna subjektif. Contoh:
·      Hitam            : hina, sengsara, berduka : Sejak peristiwa itu, ia berhasil
                        keluar dari lembah hitam.
·      Besi               : gagah, perkasa : Semua orang mengenalnya sebagai laki-
                         laki bertangan besi.[5]
Makna denotatif adalah makna sebenarnya atau makna yang memang sesuai dengan pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. kata makan artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Dikunyah, dan ditelan. Arti kata makan tersebut adalah makna denotatif. Makna denotatif juga disebut makna umum.
Makna konotatif ialah bukan makna sebenarnya. Dengan kata lain, makna kias atau makna tambahan. Contoh kata putih bisa bermakna suci atau tulus tapi juga dapat bermakna menyerah atau polos.
Penggunaan kata bermakna konotatif juga berkaitan dengan nilai rasa, baik nilai rasa rendah maupun tinggi. Contoh kata gerombolan dan kumpulan secara denotatif bermakna sama, yaitu kelompok manusia. Dua pasang kata tersebut meskipun bermakna denotasi sama, namun secara konotasi mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata gerombolan mempunyai nilai rasa yang rendah, sedangkan kata kumpulan bernilai rasa tinggi. Jadi, kata gerombolan memiliki nilai rasa yang lebih rendah bahkan berkonotasi negatif dari kata kumpulan. Hal ini terbukti pada frasa gerombolan pengacau bukan kumpulan pengacau.
Masih banyak kata yang secara denotatif memiliki kesamaan arti, namun konotasinya berbeda dengan nilai rasa. Beberapa kata bahkan dapat dikonotasikan secara negatif, misalnya kata kebijaksanaan. Kata ini menurut arti yang sebenarnya adalah kelakuan atau tindakan arif dalam mengahadapi suatu masalah. Tapi banyak penggunaan kata kebijaksanaan. Yang menyeleweng dari arti yang sebenarnya. Kata kebijaksanaan dikonotasikan dengan permintaan agar urusan dapat lancar. Hal yang sama terjadi juga pada pemakaian kata pengertian. Dalam kalimat “pembagian kompor gas ini memang tidak dipungut bayaran, tapi kami mohon pengertiannya,” kata pengertian memiliki makna lain yaitu, minta imbalah walau sedikit dan sebagainya.
Konotasi juga dapat memberikan nilai rasa halus dan kasar. Untuk sekelompok masyarakat pemakai bahasa tertentu, sebuah atau beberapa kata dapat bernilai rasa kasar, tapi pada kelompok masyarakat lainnya dirasakan biasa saja atau wajar saja, misalnya Laki-Bini untuk kalangan masyarakat melayu dianggap biasa, namun untuk kalangan masyarakat intelek dianggap kasar.[6]

C.           Analisis
Setelah mengetahui deskripsi teoritis Denotasi dan Konotasi dalam beberapa teori Semantik yang telah dipaparkan yaitu buku pertama makyun subuki “semantik”, kedua buku “linguistik umum” karya abdul chaer, ketiga buku “semantik teori dan analisis” karya muhammad rohmadi dan buku terakhir “kebahasaan 1 (fonologi, morfologi dan semantik)” karya novi resmini. Penjelasan tersebut sebagian besar sama yaitu pada intinya arti denotasi yaitu mengacu pada makna asli atau makna sebernanya dari sebuah kata atau leksem yang belum ditambahkan nilai rasa, maka makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dan materi denotasi. Contohnya kata kurus, ramping dan  kerempeng sama-sama memiliki kata yang mengandung denotatif, akan tetapi jika sudah dikaitkan dengan nilai rasa yang dapat berubah menjadi konotasi. Kata kurus mempunyai nilai rasa yang netral, ramping mempunyai nilai rasa yang positif akan tetapi kata krempeng menjadi nilai rasa yang negatif. Dan contoh kontasi yang lainnya yaitu kata anjing dan babi, pada orang islam atau dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Sumber pertama yaitu buku “semantik” karya makyun subuki sudah memaparkan penjelasan denotasi dan konotasi secara terperinci dan sesuai, begitupun dengan sumber kedua dan keempat dari pengertian penjelasannya sudah sesuai dengan buku yang lain dan hampir sama penjelasannya, akan tetapi pada sumber yang ketiga dari pengertiannya hanya memaparkan kata denotasi merupakan keseluruhan komponen makna yang dimiliki, misal kata wanita dan perempuan , dari kata ini mempunyai nilai emotif yang berbeda menyangkut nuansa halus dan kasar disebut konotasi, jadi sumber yang keempat kurang rinci menjelaskannya.
Secara garis besar materi yang disajikan di dalam buku mata pelajaran SMK Kelas XI dan kelas XII hampir sesuai dengan materi yang terdapat dalam buku semantik. Yaitu buku kelas XI telah menjelaskan arti konotasi dan denotasi sesuai dengan buku semantik yaitu denotasi makna kata atau kelompok kata yang sesuai dengan konsep awal, apa adanya, dan tidak mengandung makna tambahan. Makna denotasi disebut juga makna konseptual, makna lugas atau makna objektif. Contohnya hitam (warna), sedangkan konotasi di dalam buku kelas XI juga sudah sesuai dengan semantik yaitu Konotasi makna atau kata atau kelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran sesorang. Konotasi sebenarnya merupakan makna yang telah mengalami penambahan-penambahan, baik dari sikap sosial, lingkungan geografis, atau pun dari faktor kesejarahan. Contohnya hitam (hina, sengsara, duka). Akan tetapi dalam buku pelajaran SMK kelas XI konotasinya kurang dipaparkan lebih jelas, yang dijelaskan dan diberi contoh masih berupa kiasan-kiasan saja tidak memaparkan contoh konotasi tentang nilai rasa seperti  dalam buku semantik. Sedangkan di dalam buku SMK kelas XII masih dimasukkan pengertian denotatif itu makna sebenarnya, contoh makan dan makna konotatif itu ialah bukan makna sebenarnya, contoh putih (suci, tulus). Akan tetapi diberi penjelasan lebih lanjut yaitu penggunaan kata bermakna konotatif juga berkaitan dengan nilai rasa, sama seperti buku semantik. Dalam buku pelajaran SMK kelas XII ini juga kurang dijelaskan secara terinci mengenai konotasi, dalam buku ini hanya menjelaskan contoh konotasi yang sama seperti buku ketiga yaitu buku “semantik teori dan analisis” karya Muhammad Rohmadi. Contoh  kata Pramuwiswa (nilai rasa halus) dan kata babu (nilai rasa kasar). Dalam buku pelajaran SMK kelas XII juga mempelajari nilai konotasinya dicampurkan dengan penjelasan ameliorasi (perubahan nilai arti ke arah positif) dan peyorasi (perubahan nilai arti ke arah negatif), tetapi penjelasaannya tidak dirincikan hanya sekadar pengertian dan contohnya saja sehingga dikhawatirkan siswa SMK keliru. Berbeda dengan penjelasan di dalam buku semantik yang penjelasan ameliorasi dan peyorasi di jelaskan secara rinci dan materinya juga terpisah antara konotasi dandenotasi dengan ameliorasi dan peyorasi.

  
BAB III
PENUTUP

·      Kesimpulan
Denotasi  merupakan arti sentral atau inti, menghubungkan bentuk linguistik dengan acuan objektifnya, dapat dijadikan dasar untuk membuat pernyataan yang benar tentang dunia. Sedangkan konotasi merupakan lebih luas dari arti sentral dan arti utamanya,  merupakan arti tambahan yang diperoleh melalui asosiasi, bersifat tambahan, subjektif, emotif, dan menggambarkan sikap penggunanya, dilatarbelakangi oleh pengalaman, sehingga dapat dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat pemakai bahasa atau hanya oleh seseorang dan sekelompok orang.
Contoh : kata kurus, ramping dan krempeng merupakan sama-sama kata denotasi, akan tetapi jika dikaitkan dengan nilai rasa kata-kata tersebut berubah nilai rasa menjadi kata kurus mempunyai nilai rasa netral, kata ramping menjadi nilai rasa yang positif dan kata krempeng menjadi nilai rasa yang negatif. Contoh lain yaitu kata pramuwisma (nilai rasa halus) dan kata babu (bernilai rasa kasar) tetapi dua kata tersebut mengandung arti kata yang sama. Selain itu, kata anjing dan babi kata denotatif dapat menjadi kata konotatif yaitu pada orang islam atau dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu.

·      Ringkasan hasil pembicara/ analisis (keseluruhan)
Secara keseluruhan dari analisis keterkaitan buku semantik dengan buku mata pelajaran bahasa indonesia di SMK kelas XI dan XII, yaitu hampir sama dan sudah cukup sesuai, hanya saja dalam buku pelajaran ada yang masih menggunakan kata denotasi yaitu kata yang sebenarnya dan kata konotasi kata yang tidak sebenarnya. Dan pemaparan bagian konotasi di SMK kurang terperinci. Selain itu sudah hampir sama dan sesuai dengan buku semantik yang diajarkan di Perguruan Tinggi. Dalam buku pelajaran SMK kelas XII juga mempelajari nilai konotasinya dicampurkan dengan penjelasan ameliorasi (perubahan nilai arti ke arah positif) dan peyorasi (perubahan nilai arti ke arah negatif), tetapi penjelasaannya tidak dirincikan hanya sekadar pengertian dan contohnya saja sehingga dikhawatirkan siswa SMK keliru. Berbeda dengan penjelasan di dalam buku semantik yang penjelasan ameliorasi dan peyorasi di jelaskan secara rinci dan materinya juga terpisah antara konotasi dandenotasi dengan ameliorasi dan peyorasi.




[1] Makyun subuki, Semantik pengantar Memahami makna bahasa, (Jakarta: Trans Pustaka, 2011), h. 48-51.
[2] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003) h.292-293
[3] Muhammad Rohmadi, semantik teori dan analisis, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2008) h.15-16
[4] Novi Resmini, Kebahasaan I (Fonologi, morfologi & Semantik), (Bandung: UPI Press, 2006) h.259-260
[5] Nanang Chaerul Anwar, Modul Bahasa Indonesia untuk SMK kelas XI, (Bogor: Yudhistira, 2008), h. 39-40.
[6] Yayah Sukiah, Panduan Kreatif bahasa Indonesia Tinggkat Unggul untuk SMA / SMK kelas XII, (Jakarta: Inti Prima Promosindo, 2012), h. 28-29. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar