Cari Blog Ini

Selasa, 17 Februari 2015

Kajian Puisi Tragedi Winka dan Sihka Karya Sutardji Calzoum Bachri

Kajian Puisi : Makna Puisi Tragedi Winka & Sihka

Puisi Sutardji adalah membebaskan kata-kata. Dari penggunaan gaya bahasa pada puisi-puisi sutardji, dapat dilihat bahwa sutardji adalah seorang penyair kontemporer yang banyak memberi andil kepada perkembangan bahasa Indonesia. Ia tidak lagi bertahan pada gaya bahasa personifikasi untuk mendapatkan pengucapan puitik. Pengalaman puitik itu ia dibangun dengan gaya bahasa mantera dalam segala variasinya. Kata-katanya dalam puisi bagi saya mengandung daya magis yang ditata begitu baik dalam hal penundaan makna puisi. Sutardji begitu lihai mengelaborasi kata-kata sederhana menjadi sebuah gambaran nyata akan tragedi dan penderitaan. Ia mengajak kita untuk menelusuri fenomena sekitar kita dengan cara sastra. Untuk dapat memberikan makna pada setiap puisi Sutardji tidaklah mudah karena memang puisi Sutardji berbeda dengan puisi-puisi umumnya. Puisi sutardji termasuk puisi kontemporer dapat diartikan sebagai puisi yang bebas dari kungkungan makna leksikal, sehingga deret kata atau kalimatnya sering tidak bermakna leksikal (makna kamus). Bahkan kadang – kadang kata – kata yang digunakan tidak ada didalam kamus ataupun ujaran. Sutardji membebaskan makna dari makna, terkadang hanya ingin mengutarakan bunyi melalui perasaan (mengkonkretkan perasaan). Berikut adalah makna dari kata-kata dalam puisi “Tragedi Winka & Sihka” karya Sutardji Calzoum Bahri.
Puisi “Tragedi Winka & Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri
Kawin
     kawin
          kawin
               kawin
                    kawin
                             ka
                        win
                       ka
                  win
                 ka
            win
           ka
      win
     ka
       winka
            winka
                 winka
                      sihka
                          sihka
                              sihka
                                      sih
                                    ka
                                 sih
                               ka
                            sih
                          ka
                       sih
                    ka
                 sih
              ka
                sih
                    sih
                       sih
                          sih
                              sih
                                  sih
                                      ka
                                          Ku

Arti kata dalam puisi “Tragedi Winka dan Sihka”
Arti Judul
·      Tragedi : sandiwara sedih (pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yg luar biasa atau sampai meninggal); 2 ki peristiwa yg menyedihkan. (KBBI)
·    Winka : Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata winka tidak ditemukan, tetapi saya mencari di sumber lain yaitu memalalui  internet membuka situs Google mencari kata winka dalam puisi sutardji yaitu kata winka merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna yaitu kata yang dibalik dari kata kawin menjadi winka, yang menurut Rachmat Djoko Pradopo yaitu Bila kata-kata dibalik maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya.
·      Dan : konjungsi atau kata penghubung. (buku EYD)
·   Sihka : Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata winka tidak ditemukan. tetapi saya mencari di sumber lain yaitu memalalui  internet membuka situs Google mencari kata winka dalam puisi sutardji yaitu kata winka merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna yaitu kata yang dibalik dari kata kasih menjadi sihka, yang menurut Rachmat Djoko Pradopo yaitu Bila kata-kata dibalik maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya.

Isi Puisi
· Kawin : 1 v membentuk keluarga dng lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah: ia-- dng anak kepala kampung; 2 v melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan); 3 v cak bersetubuh: -- sudah, menikah belum; 4 n perkawinan. (KBBI)
·  Ka : Nama huruf K. (KBBI) Di google kata ka (ka - win) dalam puisi sutardji yaitu penyair sengaja memisahkan kata menjadi dua penggalan suku kata yaitu ka – win. Sebenarnya kata ka ini merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna.
· Win : Tidak ada dalam KBBI, tetapi saya mencari di google kata win pada penggalan kata ka-win dalam puisi sutardji yaitu penyair sengaja memisahkan kata kawin menjadi dua penggalan suku kata yaitu ka – win. Sebenarnya kata win ini merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna.
· Winka : Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata winka tidak ditemukakan, tetapi saya mencari di sumber lain yaitu memalalui  internet membuka situs Google mencari kata winka dalam puisi sutardji yaitu kata winka merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna yaitu kata yang dibalik dari kata kawin menjadi winka, yang menurut Rachmat Djoko Pradopo yaitu Bila kata-kata dibalik maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya “perceraian atau perpisahan”.
· Sihka : Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata winka tidak ditemukan, tetapi saya mencari di sumber lain yaitu memalalui  internet membuka situs Google mencari kata sihka dalam puisi sutardji yaitu kata sihka merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna yaitu kata yang dibalik dari kata kasih menjadi sihka, yang menurut Rachmat Djoko Pradopo yaitu Bila kata-kata dibalik maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya “kebencian”.
· Ka – Sih :  perasaan sayang (cinta, suka). (KBBI)
· Sih : kata penambah atau penegas dl kalimat tanya, menyatakan masih bimbang atau belum pasti benar; gerangan: siapa -- yg mengambilnya?. (KBBI). Di google kata sih pada penggalan kata sih - ka dalam puisi sutardji yaitu penyair sengaja memisahkan kata  menjadi dua penggalan suku kata yaitu penggalan kata sih – ka yang kata aslinya yaitu ka - sih . Sebenarnya kata sih ini merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna.
· Ka : Nama huruf K. (KBBI). Di google kata ka (ka - win) dalam puisi sutardji yaitu penyair sengaja memisahkan kata  menjadi dua penggalan suku kata yaitu ka – win. Sebenarnya kata ka ini merupakan kata nonsense (kata yang tidak mempunyai makna) tetapi oleh penyair diberi makna.
·  Ku : 1. Bentuk ringkas dari pronomina persona pertama; 2. Bentuk klitik aku sebagai penunjuk, pemilik, tujuan: kuambil; rumahku; memukulku. (KBBI)

Penjelasan  Puisi “Tragedi Winka dan sihka”

Puisi “Tragedi Sihka dan Winka” memang dimaksudkan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam fragmen kehidupan nyata. Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih, ku adalah tanda-tanda bermakna, sutardji membuat puisi ini berbeda dengan puisi pada umumnya, yaitu dengan menggunakan hanya dua kata akan tetapi bermakna, yaitu dari dua kata tersebut kawin dan kasih, Sutardji membalik kata tersebut sehingga menjadi winka dan sihka dan dalam puisi Sutardji juga menggunakan pemenggalan kata dari kata kawin dan kasih menjadi ka-, win-, ka-, sih- yang menurut pengarang mempunyai makna tersendiri. Kata kawin dan kasih yang dibalik menjadi winka dan sihka menjadikan makna yang berbeda pula yaitu sebagaimana menurut Rachmat Djoko Pradopo “Bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya.” Berarti dalam puisi sutardji “Tragedi Winka dan Sihka” yaitu terdapat kata kawin dalam kamus besar bahasa indonesia yang berarti membentuk keluarga dng lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah yang mengandung makna kebahagiaan, sedangkan kata kawin dibalik menjadi winka memiliki arti yang berlawanan dengan kawin yaitu kesengsaraan dan perceraian sedangkan kata kasih berarti perasaan sayang dan cinta, kata kasih dibalik menjadi sihka yang menurut Rachmat Djoko Pradopo jika kata tersebut dibalik maka maknanya pun berbalik pula, yaitu kata sihka yang mempunyai makna kebencian lawan dari kata kasih. Bila kawin dan kasih menjadi winka dan sihka, maka itulah tragedi nyata yang terdapat dalam kehidupan sesuai dengan judul puisi ini yaitu “Tragedi Winka dan Sihka”. Dalam puisi sutardji ini selain kata-katanya yang dibalik terdapat pula kata kawin dan kasih yang dipenggal menjadi dua suku kata yaitu kata ka-, win-, ka-, sih-. Kata kawin dipenggal menjadi dua suku kata, ka-win yang berarti perkawinan yang diliputi kebahagiaan itu sudah tidak utuh lagi, sedangkan sutardji juga sengaja memenggal kata kasih menjadi ka-, sih-, yang berarti perasaan sayang dan cinta menjadi kebalikan seperti makna dari sihka yaitu kebencian, pemenggalan kata dan pembalikkan kata yang berarti sudah menjadi tidak utuh lagi dan tidak saling menyayangi dan mencintai lagi dalam perkawinan, hal tersebut sering terjadi dalam kehidupan nyata melalui puisi sutardji “Tragedi Winka dan Sinka”. Dalam sajak itu kata kawin dideretkan sampai lima kali secara utuh hal itu memberi sugesti bahwa dalam kehidupan periode entah lima tahun, lima bulan, lima minggu, atau lima hari perkawinan itu berjalan masih penuh kebahagiaan, setelah itu puisi tersebut terjadi terjadi pembalikan kata dan pemenggalan kata sehingga tidak menjadi utuh lagi sesuai dengan makna puisi tersebut. Puisi ini merupakan puisi sutardji yang salah satu bentuknya tidak beraturan, Tipografi sajak tersebut berdasarkan konteks strukturnya beberapa kata terdapat makna sebagai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan sebagaimana kata kawin dan kasih tersebut dipenggal dan dibalik sehingga mempengaruhi makna yang berlawanan dan pemenggalan kata mengandung arti pemisahan-pemisahan makna yang tidak menjadi utuh lagi dalam arti perkawinan dan kasih pada puisi sutardji tersebut, dalam puisi ini digambarkan sebagai susunan kata yang berbentuk zigzag, berbelok-belok tajam yang mengandung arti perkawinan yang semula mengalami kebahagiaan, saling mengasihi, menyayangi dan mencintai namun seiring berjalannya waktu pernikahan tersebut mengalami keadaan yang berliku-liku sesuai dengan tipografi puisi ini yaitu pernikahan tersebut sudah mulai berbahaya dan pada akhirnya menimbulkan peristiwa yang menyedihkan dalam hidup seperti kata yang terkandung dalam judul puisi yaitu tragedi.

Jumat, 06 Februari 2015

Perbandingan Konotasi dan Denotasi dalam Teori Semantik dan Pembelajaran Bahasa di SMA

BAB I
PENDAHULUAN

Pembelajaran dan pemakaian kata bahasa indonesia di lingkungan masyarakat terdapat jenis makna dan arti dalam berbahasa. Pada semantik terdapat jenis makna dan arti yang dapat diklarifikasikan menjadi arti leksikal dan gramatikal, arti denotatif dan arti konotatif, dan arti literal dan non literal.  Akan tetapi klarifikasi makna dan arti  setiap tokoh biasanya mengklarifikasikannya berbeda-beda.
Pemakaian kata dalam bahasa indonesia dapat diartikan secara leksikal atau konsep, tapi juga dapat diartikan secara kontekstual, sesuai dengan situasi pemakaiannya. Kemungkinan sebuah kata diartikan secara leksikal maupun kontekstual dalam mengungkapkan maksud, penggungkapan maksud ini dapat bermakna kata arti denotatif atau arti konotatif. Namun arti denotatif maupun arti konotatif terkadang terjadi kekeliruan yang terdapat dalam pembelajaran dan pemakaian kata bahasa indonesia. Materi ini dipilih adalah untuk meneliti kesesuaian antara materi yang ada dalam semantik tentang arti denotasi dan konotasi dengan materi yang ada dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMK kelas XI dan XII. Jika dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMK kelas XI dan XII materi yang disajikan hanya dalam gambaran umum, dalam semantik akan dibahas secara lebih terperinci agar dalam pengajarannya nanti diharapkan kita memiliki pengetahuan lebih mengenai materi yang akan disampaikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Deskripsi Teoritis Denotasi dan Konotasi (Teori Semantik)
1.    Istilah denotasi (denotation) digunakan dalam konsep yang berbeda dalam semantik, yaitu:
a.    Menurut Trask mengemukakan bahwa denotasi mengacu kepada arti sentral dari sebuah bentuk linguistik yang dapat dipertimbangkan sebagai hal yang diacunya.
b.  Hartmann dan James mendefinisikan denotasi sebagai “an aspect oh meaning that relates a word or phrase to the objective referent it expresses” atau aspek arti yang menghubungkan bentuk linguistik dengan acuan objektif yang dimaksudkan.
c.    Cruse mengemukakan bahwa yang dimaksud denotasi adalah aspek arti dari bentuk linguistik yang secara potensial dapat dijadikan dasar untuk membuat penyataan yang benar tentang dunia. Menurutnya denotasi mencakupi persoalan ekstensi dan intensi. Ekstensi dari sebuah bentuk linguistik mencakupi seluruh entitas yang dapat didenotasikan oleh bentuk tersebut, misalnya kata bunga dapat mendenotasi mawar, melati, anggrek, dan sebagainya yang masih termasuk dalam kelompok bunga; sedangkan intensi dari sebuah bentuk linguistik mengacu kepada ciri dan atau sifat yang dimiliki bersama oleh eksistensinya, misalnya ciri atau sifat yang sama antara melati, mawar, anggrek, dan sebagainya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa arti denotatif adalah aspek arti dari bentuk linguistik tertentu yang mengandung ciri : 1) merupakan arti sentral atau inti, 2) menghubungkan bentuk linguistik dengan acuan objektifnya, 3) dapat dijadikan dasar untuk membuat pernyataan yang benar tentang dunia. Arti denotatif ini kadang disamakan dengan arti literal, arti referensial, arti kognitif, dan arti konseptual.
2. Selanjutnya, seperti denotasi, istilah konotasi (connotation) juga diberi batasan yang berbeda-beda pula, yaitu :
a.    Menurut Trask mendefinikan konotasi sebagai “the meaning of a word that is broader than its central and primary sense, often acquired through frequent associations” atau arti kata yang lebih luas dari makna sentral dan makna utamanya yang biasanya diperoleh melalui asosiasi yang berulang.
b.    Richards dan Schimdt mengemukakan bahwa konotasi arti tambahan dari kata atau frasa yang melampaui arti sentralnya. Berdasarkan acuan dari kata atau frasa tersebut, arti tambahan tersebut memperlihatkan emosi dan sikap penggunanya. Akan tetapi mereka lebih jauh menambahkan konotasi dapat dimiliki bersama-sama oleh sekelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya, sosial, jenis kelamin, dan umur yang sama, dan konotasi dapat pula hanya dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang dan tergantung kepada pengalaman mereka.
c.    Batasan yang serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Richards dan Smith juga dikemukakan oleh Hartman dan James yaitu bahwa konotasi adalah aspek arti kata dari kata atau frasa yang diasosiakan dengan nada tambahan yang bersifat subjektif emotif.
d.   Crystal juga mengemukakan bahwa konotasi adalah emosional, baik individual maupun komunal, yang disugestikan oleh sebuah atau sebagian arti dari, unit linguistik.
e.    Adapun batasan berbeda, menurut pendapat Cruse, bahwa konotasi memiliki beberapa arti yaitu 1) dalam bahasa sehari-hari, konotasi berarti kurang lebih sama dengan asosiasi, 2) dalam penggunaan teknisnya, istilah konotasi mengacu kepada aspek arti yang tidak didasarkan atas kondisi kebenaran (non-truth-conditional), dan 3) kadang kala istilah konotasi digunakan sebanding dengan istilah intensi.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konotasi memiliki beberapa dimensi, yaitu 1) lebih luas dari arti sentral dan arti utamanya, 2) merupakan arti tambahan yang diperoleh melalui asosiasi, 3) bersifat tambahan, subjektif, emotif, dan menggambarkan sikap penggunanya, 4) dilatarbelakangi oleh pengalaman, sehingga dapat dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat pemakai bahasa atau hanya oleh seseorang dan sekelompok orang. Arti konotasi sering disamakan dengan arti afektif dan arti emotif.
Untuk membedakan arti konotatif dan denotatif, perlu mempertimbangkan hubungan antara kata kuli, buruh, karyawan dan pekerja. Empat kata tersebut memiliki arti denotatif yang kurang lebih sama. Akan tetapi, kandungan nilai rasa yang melekat pada empat kata tersebut berbeda-beda, sehingga kita merasa bahwa kata kuli lebih kasar daripada kata buruh, kata buruh lebih kasar daripada kata karyawan, dan karyawan lebih kasar daripada kata pekerja. Sebagai contoh lain, dapat juga dipertimbangkan dalam kata anjing. kata anjing memiliki konotasi negatif dalam bahasa indonesia. Karena konotasi negatif ini, kita dapat menggunakan sebagai makian, dan dapat diartikan sebaliknya bahwa kata yang dapat digunakan sebagai makian biasanya memiliki konotasi negatif. Nilai rasa yang negati ini didapatkan dari asosiasi yang berulang dari kata makian tersebut terhadap sesuatu hal yang secara moral dapat dikategorikan sebagai buruk. Dalam terminologi islam, anjing adalah binatang yang mengandung najis, bahkan najis yang terberat. Kebetulan, mayoritas penduduk Indonesia beragama islam. Asosiasi anjing dengan najis tersebut menyebabkan nilai rasa kata anjing dalam bahasa Indonesia menjadi buruk.[1]
Makna denotatif dan makna konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna donotatif ‘sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya’. Kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang  yang lebih kecil dari ukuran yang normal’. Kata rombongan bermakna denotatif ‘sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan’.
Kalau denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebernanya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh di atas, pada orang islam atau dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan (unfavorable). Tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata krempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu , mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakan; orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya krempeng.
Dari contoh kurus, ramping, dan krempeng itu dapat kita simpulkan, bahwa ketiga kata itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak sama; kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan krempeng berkonotasi negatif. Bagaimana dengan kata rombongan dan gerombolan? Manakah yang berkonotasi positif dan mana pula yang berkonotasi negatif?
Berkenaan dengan masalah konotasi ini, satu hal yang harus anda ingat adalah bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain, antara satu daerah dengan daerah lain, atau antara masa dengan masa lain. Begitulah dengan kata babi di atas; berkonotasi negatif bagi agama islam, tetapi tidak berkonotasi negatif bagi yang tidak beragama islam. Sebelum zaman penjajahan jepang kata perempuan tidak berkonotasi negatif, tetapi kini berkonotasi negatif.[2]
Makna denotatif dan konotatif
Makna kata wanita dan perempuan kesemuanya mengacu kepada referen atau acuannya di luar bahasa, yaitu ‘orang yang berjenis kelamin feminim’. Keseluruhan komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata disebut denotata. Oleh karenanya, makna yang demikian disebut makna denotatif. Walaupun wanita dan perempuan memiliki makna denotatif yang sama, tetapi masing-masing mempunyai nilai emotif yang berbeda. Nilai emotif di sini menyangkut nuansa halus dan kasar. Nilai emotif yang terdapat pada suatu bentuk kebahasaan disebut konotasi. Oleh karenanya, wanita dan perempuan dikatakan memiliki makna konotatif yang berbeda. Kata wanita  memiliki nuansa makna halus, sedangkan perempuan memiliki nuansa makna yang (lebih) kasar. Contoh lain ialah kata suami dan laki, istri dan bini, serta pramuwisma dan babu, dsb. Untuk ini, dapat diperhatikan ketidakmungkinan penyulihan (3), (4), dan (5) menjadi (6), (7), dan (8) berikut.
(3)   para istri karyawan pabrik itu akan beranjangsana ke pabrik tekstil.
(4)   Ibu-ibu diharapkan hadir didampingi suami masing-masing.
(5)   Dia mendapat penghargaan sebagai pramuwisma teladan.
(6)   *Para bini karyawan pabrik itu akan beranjangsana ke pabrik tekstil.
(7)   Ibu-ibu diharapkan hadir didampingi laki masing-masing.
(8)   Dia mendapat penghargaan sebagai babu teladan.[3]
Makna kognitif
Makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan. Makna kognitif adalah makna lugas, makna apa adanya. Makna kognitif tidak hanya dimiliki kata-kata yang menunjuk benda-benda nyata, tetapi mengacu pila pada bentuk-bentuk yang makna kognitifnya khusus (Djajasudarma, 1993:9).
Kridalaksana (1993) dalam kamus linguistik, memberikan penjelasan bahwa makna kognitif (cognitive meaning) adalah aspek-aspek makna satuan bahasa yang berhubungan dengan ciri-ciri dalam alam di luar bahasa atau penalaran.
Makna kognitif sering digunakan dalam istilah teknik. Seperti telah disebutkan bahwa makna konotatif disebut juga makna deskriptif, makna denotatif dan makna kognitif konsepsional. Makna ini tidak pernah dihubungkan dengan hal-hal lebih secara asosiatif, makna tanpa tafsiran hubungan dangan benda lain atau peristiwa lain. Makna kognitif adalah makna sebenarnya, bukan makna kiasan atau perumpamaan.
Makna Konotatif dan Emotif
     Makna kognitif dapat dibedakan dari makna konotatif dan emotif berdasarkan hubungannya, yaitu hubungan antara kata dengan acuannya (referent) atau hubungan kata dengan denotasinya (hubungan antara kata (ungkapan) dengan orang, tempat, sifat, proses, dan kegiatan luar bahasa; dan hubungan antara kata (ungkapan) dengan ciri-ciri tertentu yang bersifat konotatif atau emotif.
     Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif (lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan komponen makna lain (Djajasudarma, 1993). Sementara krida laksan (1993), memberikan pengertian bahwa makna konotatif (connotative meaning) sama dengan konotasi, yaitu aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
     Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotative yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata babi, pada orang yang beragama islam kata babi tersebut mempunyai konotasi negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata tersebut. Contoh lain, kata kurus, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi kata ramping, yang bersinonim dengan kata kurus memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakan, orang akan senang bila dikatakan ramping. Begitu juga dengan kata kerempeng, yang bersinonim dengan kata kurus dan kata ramping, mempunyai konotasi negatif, nilai rasa yang tidak mengenakan, orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
     Makna konotatif dapat dibedakan dari makna emotif karena yang disebut pada bagian pertama bersifat negative dan yang disebut kemudian bersifat positif. Makna konatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau apa yang didengar. Makna konatif atau emotif sangat luas dan tidak dapat diberikan secara tepat. Makna konatif dan makna emotif dapat dibedakan berdasarkan masyarakat yang diciptakannya atau menurut individu yang menciptakannya atau menghasilkannya, dan dapat dibedakan berdasarkan media yang digunakan (lisan atau tulisan), serta menjadi bidang yang menjadi isinya. Makna konotatif berubah dari zaman ke zaman. Makna konotatif dan emotif dapat bersifat insidental.
     Makna emotif (bahasa inggris emotive meaning) adalah makna yang melibatkan perasaan (pembicaraan dan pendengar; penulis dan pembaca) ke arah yang positif. Makna ini berbeda dengan makna kognitif (denotatif) yang menunjukkan adanya hubungan antara dunia konsep (reference) dengan kenyataan, makna emotif menunjuk sesuatu yang lain yang tidak sepenuhnya sama dengan yang terdapat dalam dunia kenyataan (Djajasudarma, 1993).
     Suatu kata dapat memiliki makna emotif dan bebas dari makna kognitif, atau dua kata dapat memiliki makna kognitif yang sama, tetapi kedua kata tersebut dapat memiliki makna emotif yang berbeda. Makna emotif di dalam bahasa indonesia cenderung berbeda dengan makna konotatif; makna emotif cenderung mengacu kepada hal-hal (makna) yang negatif.[4]

B.            Materi Denotasi dan Konotasi pada Buku SMK Kelas XI dan Kelas XII
Makna kata adalah maksud suatu kata atau isi suatu pembicaraan atau pikiran. Apabila hendak mencari makna suatu kata, dapat dilakukan adalah memahami maksud dan mengenal karakter yang terkandung dalam kata tersebut. Secara umum, makna suatu kata dibedakan atas makna denotasi dan makna konotasi.  
1.    Denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang sesuai dengan konsep awal, apa adanya, dan tidak mengandung makna tambahan. Makna denotasi disebut juga makna konseptual, makna lugas atau makna objektif. Contoh:
·      Hitam            : warna gelap : Dompet hitamnya tertinggal di kamar hotel.
·      Besi               : logam yang sangat keras : Wilayah Kebun Raya Bogor
                       dikelilingi pagar besi.
2.    Konotasi adalah makna atau kata atau kelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran sesorang. Konotasi sebenarnya merupakan makna yang telah mengalami penambahan-penambahan, baik dari sikap sosial, lingkungan geografis, atau pun dari faktor kesejarahan. Makna konotasi disebut juga makna kontekstual, kiasan atau makna subjektif. Contoh:
·      Hitam            : hina, sengsara, berduka : Sejak peristiwa itu, ia berhasil
                        keluar dari lembah hitam.
·      Besi               : gagah, perkasa : Semua orang mengenalnya sebagai laki-
                         laki bertangan besi.[5]
Makna denotatif adalah makna sebenarnya atau makna yang memang sesuai dengan pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. kata makan artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Dikunyah, dan ditelan. Arti kata makan tersebut adalah makna denotatif. Makna denotatif juga disebut makna umum.
Makna konotatif ialah bukan makna sebenarnya. Dengan kata lain, makna kias atau makna tambahan. Contoh kata putih bisa bermakna suci atau tulus tapi juga dapat bermakna menyerah atau polos.
Penggunaan kata bermakna konotatif juga berkaitan dengan nilai rasa, baik nilai rasa rendah maupun tinggi. Contoh kata gerombolan dan kumpulan secara denotatif bermakna sama, yaitu kelompok manusia. Dua pasang kata tersebut meskipun bermakna denotasi sama, namun secara konotasi mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata gerombolan mempunyai nilai rasa yang rendah, sedangkan kata kumpulan bernilai rasa tinggi. Jadi, kata gerombolan memiliki nilai rasa yang lebih rendah bahkan berkonotasi negatif dari kata kumpulan. Hal ini terbukti pada frasa gerombolan pengacau bukan kumpulan pengacau.
Masih banyak kata yang secara denotatif memiliki kesamaan arti, namun konotasinya berbeda dengan nilai rasa. Beberapa kata bahkan dapat dikonotasikan secara negatif, misalnya kata kebijaksanaan. Kata ini menurut arti yang sebenarnya adalah kelakuan atau tindakan arif dalam mengahadapi suatu masalah. Tapi banyak penggunaan kata kebijaksanaan. Yang menyeleweng dari arti yang sebenarnya. Kata kebijaksanaan dikonotasikan dengan permintaan agar urusan dapat lancar. Hal yang sama terjadi juga pada pemakaian kata pengertian. Dalam kalimat “pembagian kompor gas ini memang tidak dipungut bayaran, tapi kami mohon pengertiannya,” kata pengertian memiliki makna lain yaitu, minta imbalah walau sedikit dan sebagainya.
Konotasi juga dapat memberikan nilai rasa halus dan kasar. Untuk sekelompok masyarakat pemakai bahasa tertentu, sebuah atau beberapa kata dapat bernilai rasa kasar, tapi pada kelompok masyarakat lainnya dirasakan biasa saja atau wajar saja, misalnya Laki-Bini untuk kalangan masyarakat melayu dianggap biasa, namun untuk kalangan masyarakat intelek dianggap kasar.[6]

C.           Analisis
Setelah mengetahui deskripsi teoritis Denotasi dan Konotasi dalam beberapa teori Semantik yang telah dipaparkan yaitu buku pertama makyun subuki “semantik”, kedua buku “linguistik umum” karya abdul chaer, ketiga buku “semantik teori dan analisis” karya muhammad rohmadi dan buku terakhir “kebahasaan 1 (fonologi, morfologi dan semantik)” karya novi resmini. Penjelasan tersebut sebagian besar sama yaitu pada intinya arti denotasi yaitu mengacu pada makna asli atau makna sebernanya dari sebuah kata atau leksem yang belum ditambahkan nilai rasa, maka makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dan materi denotasi. Contohnya kata kurus, ramping dan  kerempeng sama-sama memiliki kata yang mengandung denotatif, akan tetapi jika sudah dikaitkan dengan nilai rasa yang dapat berubah menjadi konotasi. Kata kurus mempunyai nilai rasa yang netral, ramping mempunyai nilai rasa yang positif akan tetapi kata krempeng menjadi nilai rasa yang negatif. Dan contoh kontasi yang lainnya yaitu kata anjing dan babi, pada orang islam atau dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Sumber pertama yaitu buku “semantik” karya makyun subuki sudah memaparkan penjelasan denotasi dan konotasi secara terperinci dan sesuai, begitupun dengan sumber kedua dan keempat dari pengertian penjelasannya sudah sesuai dengan buku yang lain dan hampir sama penjelasannya, akan tetapi pada sumber yang ketiga dari pengertiannya hanya memaparkan kata denotasi merupakan keseluruhan komponen makna yang dimiliki, misal kata wanita dan perempuan , dari kata ini mempunyai nilai emotif yang berbeda menyangkut nuansa halus dan kasar disebut konotasi, jadi sumber yang keempat kurang rinci menjelaskannya.
Secara garis besar materi yang disajikan di dalam buku mata pelajaran SMK Kelas XI dan kelas XII hampir sesuai dengan materi yang terdapat dalam buku semantik. Yaitu buku kelas XI telah menjelaskan arti konotasi dan denotasi sesuai dengan buku semantik yaitu denotasi makna kata atau kelompok kata yang sesuai dengan konsep awal, apa adanya, dan tidak mengandung makna tambahan. Makna denotasi disebut juga makna konseptual, makna lugas atau makna objektif. Contohnya hitam (warna), sedangkan konotasi di dalam buku kelas XI juga sudah sesuai dengan semantik yaitu Konotasi makna atau kata atau kelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran sesorang. Konotasi sebenarnya merupakan makna yang telah mengalami penambahan-penambahan, baik dari sikap sosial, lingkungan geografis, atau pun dari faktor kesejarahan. Contohnya hitam (hina, sengsara, duka). Akan tetapi dalam buku pelajaran SMK kelas XI konotasinya kurang dipaparkan lebih jelas, yang dijelaskan dan diberi contoh masih berupa kiasan-kiasan saja tidak memaparkan contoh konotasi tentang nilai rasa seperti  dalam buku semantik. Sedangkan di dalam buku SMK kelas XII masih dimasukkan pengertian denotatif itu makna sebenarnya, contoh makan dan makna konotatif itu ialah bukan makna sebenarnya, contoh putih (suci, tulus). Akan tetapi diberi penjelasan lebih lanjut yaitu penggunaan kata bermakna konotatif juga berkaitan dengan nilai rasa, sama seperti buku semantik. Dalam buku pelajaran SMK kelas XII ini juga kurang dijelaskan secara terinci mengenai konotasi, dalam buku ini hanya menjelaskan contoh konotasi yang sama seperti buku ketiga yaitu buku “semantik teori dan analisis” karya Muhammad Rohmadi. Contoh  kata Pramuwiswa (nilai rasa halus) dan kata babu (nilai rasa kasar). Dalam buku pelajaran SMK kelas XII juga mempelajari nilai konotasinya dicampurkan dengan penjelasan ameliorasi (perubahan nilai arti ke arah positif) dan peyorasi (perubahan nilai arti ke arah negatif), tetapi penjelasaannya tidak dirincikan hanya sekadar pengertian dan contohnya saja sehingga dikhawatirkan siswa SMK keliru. Berbeda dengan penjelasan di dalam buku semantik yang penjelasan ameliorasi dan peyorasi di jelaskan secara rinci dan materinya juga terpisah antara konotasi dandenotasi dengan ameliorasi dan peyorasi.

  
BAB III
PENUTUP

·      Kesimpulan
Denotasi  merupakan arti sentral atau inti, menghubungkan bentuk linguistik dengan acuan objektifnya, dapat dijadikan dasar untuk membuat pernyataan yang benar tentang dunia. Sedangkan konotasi merupakan lebih luas dari arti sentral dan arti utamanya,  merupakan arti tambahan yang diperoleh melalui asosiasi, bersifat tambahan, subjektif, emotif, dan menggambarkan sikap penggunanya, dilatarbelakangi oleh pengalaman, sehingga dapat dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat pemakai bahasa atau hanya oleh seseorang dan sekelompok orang.
Contoh : kata kurus, ramping dan krempeng merupakan sama-sama kata denotasi, akan tetapi jika dikaitkan dengan nilai rasa kata-kata tersebut berubah nilai rasa menjadi kata kurus mempunyai nilai rasa netral, kata ramping menjadi nilai rasa yang positif dan kata krempeng menjadi nilai rasa yang negatif. Contoh lain yaitu kata pramuwisma (nilai rasa halus) dan kata babu (bernilai rasa kasar) tetapi dua kata tersebut mengandung arti kata yang sama. Selain itu, kata anjing dan babi kata denotatif dapat menjadi kata konotatif yaitu pada orang islam atau dalam masyarakat islam mempunyai konotasi yang negatif, makna lain yang “ditambahkan“ pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu.

·      Ringkasan hasil pembicara/ analisis (keseluruhan)
Secara keseluruhan dari analisis keterkaitan buku semantik dengan buku mata pelajaran bahasa indonesia di SMK kelas XI dan XII, yaitu hampir sama dan sudah cukup sesuai, hanya saja dalam buku pelajaran ada yang masih menggunakan kata denotasi yaitu kata yang sebenarnya dan kata konotasi kata yang tidak sebenarnya. Dan pemaparan bagian konotasi di SMK kurang terperinci. Selain itu sudah hampir sama dan sesuai dengan buku semantik yang diajarkan di Perguruan Tinggi. Dalam buku pelajaran SMK kelas XII juga mempelajari nilai konotasinya dicampurkan dengan penjelasan ameliorasi (perubahan nilai arti ke arah positif) dan peyorasi (perubahan nilai arti ke arah negatif), tetapi penjelasaannya tidak dirincikan hanya sekadar pengertian dan contohnya saja sehingga dikhawatirkan siswa SMK keliru. Berbeda dengan penjelasan di dalam buku semantik yang penjelasan ameliorasi dan peyorasi di jelaskan secara rinci dan materinya juga terpisah antara konotasi dandenotasi dengan ameliorasi dan peyorasi.




[1] Makyun subuki, Semantik pengantar Memahami makna bahasa, (Jakarta: Trans Pustaka, 2011), h. 48-51.
[2] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003) h.292-293
[3] Muhammad Rohmadi, semantik teori dan analisis, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2008) h.15-16
[4] Novi Resmini, Kebahasaan I (Fonologi, morfologi & Semantik), (Bandung: UPI Press, 2006) h.259-260
[5] Nanang Chaerul Anwar, Modul Bahasa Indonesia untuk SMK kelas XI, (Bogor: Yudhistira, 2008), h. 39-40.
[6] Yayah Sukiah, Panduan Kreatif bahasa Indonesia Tinggkat Unggul untuk SMA / SMK kelas XII, (Jakarta: Inti Prima Promosindo, 2012), h. 28-29.